Prolog °°

161 11 0
                                    

Sedari tadi, bibir tipis wanita yang duduk di arah jam sembilan itu tak berhenti bergumam. Tangannya erat menggenggam kertas, kadang bergerak sendiri mengikuti kalimat yang ia gumamkan. Nomor urut menempel pada setelan jas nya sebagai tanda giliran dia akan memasuki ruangan. Wanita itu berdandanan sangat rapi. Rambut yang sengaja diikat satu lalu wajahnya dirias natural. Bahkan keramaian yang ia temukan tidak bisa menganggu fokus dan konsentrasinya pada selembar kertas di tangannya. Bibirnya tetap menggumam, seakan menghafalkan sesuatu. Sesekali wanita itu menoleh, mengerutkan kening cemas, lalu kembali melihat selembar kertas itu.

Wanita itu menghelakan napas sejenak. Rasa gugupnya semakin terasa ketika mendekati saatnya ia dipanggil. Entah sudah berapa kali wanita itu menghafalkan kata demi kata, tetap saja ia tidak bisa mengucapkan nya dengan baik.

"Kim Lana!"

Begitu namanya dipanggil, wanita itu tersentak. Kertasnya terjatuh karena terkejut. Tapi ia tidak boleh mundur, bagaimana pun dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Dia butuh uang untuk mencukupi hidupnya.

"Ya, saya hadir!"

Lana berdiri lalu merapikan pakaiannya. Dengan menggunakan layar ponselnya ia melihat dandanannya kembali, menata poni panjangnya agar tidak menutupi mata, sekaligus menambahkan warna merah di bibirnya dengan liptint yang ia bawa. Senyumannya terangkat. Dia melihat dirinya sudah berpenampilan baik, dan kali ini ia cukup menggantungkan mimpi serta harapannya.

Diterima di perusahaan besar ini dan mendapatkan pekerjaan tetap.

Lana berjalan mantap, dia melewati beberapa orang yang sedang duduk menunggu giliran dipanggil untuk diwawancarai. Semakin mendekati pintu masuk ruangan itu, Lana semakin gugup. Ah, bagaimana jika nantinya dia akan gagal lagi? Bagaimana jika nanti is salah berbicara dan ditolak mentah-mentah?

Biarlah, kadang Lana suka berpikiran buruk akan nasibnya. Karena ia tau jika kenyataan tidak selalu memihak pada dirinya seperti di dunia mimpi.

Ada tiga kursi. Lana tidak sendiri, dia bersama dengan pelamar lainnya yang juga memiliki keinginan yang sama, salah satunya mendapat pekerjaan.

Ia menarik napasnya pelan. Saat ini petinggi perusahaan besar itu mungkin tengah melihat biodata diri miliknya dan juga milik dua orang di sebelahnya. Ah, perusahaan entertainment ini memang selalu saja selektif dalam memilih karyawan. Hal itu mungkin sudah terdengar dimana-mana. Jika ingin diterima dan bekerja sebagai pegawai tetap, pelamar minimal harus memiliki IQ diatas 180. Gila bukan?

Wajar saja, gaji dan bonus yang ditawarkan oleh pemilik perusahaan ini sangat besar. Apalagi perusahaan entertainment ini masuk ke dalam peringkat ketiga yang paling berpengaruh. Terhitung pelamar yang mencoba peruntungan juga tidak sedikit, seperti tahun ini, Lana bersaing dengan 150.000 pelamar yang juga memiliki IQ tinggi. Tidak hanya itu, sejak dibuka pengumuman bulan lalu, Lana masih harus menempatkan posisinya bersaing dengan 50.000 pelamar lain yang akan diwawancara.

Sebab, perusahaan hanya mencari lima pelamar terbaik lalu akan dipekerjaan kontrak dulu selama tiga tahun.

Katanya, segala keputusan perusahaan ini jatuh kepada pewaris perusahaan, yang juga menjadi salah satu idol terkenal.

"Kim Lana, apa keahlianmu?"

Niat ingin meng-copypaste jawaban pelamar lain ketika sedang diwawancara gagal karena malah dia yang ditanyai lebih dulu.

"Mengetik, berhitung, dan sesuatu lainnya."jawab Lana lantang.

"Selain keahlian otak kiri?"

Lana diam beberapa saat, dia bingung harus menjawab apa. Masalahnya dia sama sekali tidak memiliki bakat apapun. Menyanyi saja tidak bisa, apalagi menari sekali pun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Are You Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang