(1) Prologue

235 18 4
                                    

Mentari bersinar. Sinarnya hangat, menghangatkan tubuhku. Sebenarnya aku masih ingin tidur tapi matahari memaksaku untuk membuka mata dengan lebar. Ia ingin aku menyambutnya.

Aku tersenyum senang, melihat burung yang hinggap di ranting sedang bernyanyi. Pohon ikut menari dengan daun-daun rindangnya. Mood yang bagus untuk kembali tidur.

Tak sengaja mataku melirik jam dan berbaring dengan cepat. Tapi, ada sesuatu yang membuat wajahku mendadak masam. Masam hingga rasanya terasa kecut.

Sudah jam 7? Astaga, aku akan terlambat lagi kalau seperti ini!!

Aku melompat cepat dari ranjang tanpa melipat selimut terlebih dahulu. Tanganku langsung menyambar handuk yang terjemur di depan balkon. Tak ada lagi untuk menikmati mandi di pagi hari.

Lima menit kemudian, aku sudah lengkap dengan seragam sekolah. Beruntungnya, aku tidak se-pemalas yang kalian pikirkan. Jadi, tadi malam aku sudah mengumpulkan buku-buku yang harus di bawa hari ini.

Dengan terburu-buru, Aku menyempatkan diri untuk berdandan. Aku tidak ingin masih terlihat kusam karena mandiku pagi ini sangat tidak efektif. Aku harus terlihat natural dan cantik kapan saja. Karena kuadrat gadis memang seperti ini, wajar saja.

"Hyemi!!" Pekik ibu.

"Iya, Bu!"

Pekikan ibu terdengar seperti alarm untuk pengingatku. Dengan tergesa-gesa, ku tarik tas yang ada tergeletak di atas kasur. Aku menuruni tangga dengan cepat. Melihat meja makan aku jadi ingin sarapan. Tapi, mana mungkin lagi ada waktu. Aku benar-benar sudah membunuh waktu dengan kemalasan ku sendiri.

"Nah, bekalmu" Ujar ibu yang langsung ku ambil kotaknya dari tangannya. Lalu melesat, berlari ke halte. Maaf Bu, aku ini tidak sopan sekali, sungguh. Kau boleh menghukum ku nanti.

Sial, bus itu sudah sengaja meninggalkanku.

"Daniel!" Pekikku dari jarak yang sedikit jauh. Aku melihatnya berdiri di tepi bus. Dia harus menolongku. Ini benar darurat.

Tapi... Astaga aku lupa!

Kemarin aku bertengkar hebat dengannya di lapangan upacara. Bodoh, kenapa aku sekarang malah minta bantuannya. Dia pasti berpikir aku akan mengalah, dan aku akan kalah darinya. Tidak, tidak akan!

Semoga saja dia tidak dengar pekikku ku tadi. Beruntung sekali karena telinganya tersumpal headset.

Semakin dekat, aku melompat.

"Yeah!" Pekikku semangat.

Mendadak bus senyap. Semua perhatian teralihkan padaku. Seharusnya mereka lihat aku lompat dengan jarak jauh tadi, bukannya sekarang dan menatapku aneh begitu. Aku jadi merasa melakukan sesuatu yang salah.

Aku menoleh, mataku menatap tajam ke arah Daniel. Pria itu langsung bergidik sok takut, mengejekku. Akan aku hajar dia di sekolah kalau berani membuat semua orang menertawaiku seperti di lapangan upacara waktu itu. Dasar anak berandal! Menyebalkan.

Aku melangkah menuju tempat duduk yang masih tersisa. Tatapanku langsung tertuju pada sopir bus itu. Tanpa terduga, sopir itu benar-benar menantang ku. Ia menatapku lewat kaca cembung, alisnya naik-naik.

Aku mencengkram jok dengan geram. Aku yakin sekarang ada asap mengepul di atas kepalaku. Sopir itu minta di hajar rupanya, selama ini dia belum tau ya siapa aku? Aku bersedih.

Pantatku mencium jok. Aku merasa hari ini aku sedikit beruntung karena aku bisa dapat naik bus. Selama ini aku selalu terlambat, berlari ke sekolah dan di marahi guru BK. Itu melelahkan. Sudah lelah, lalu di marahi lagi. Rasanya menyakitkan daripada pukulan eomma.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang