Pertemuan Awal

33 1 1
                                    

    PAGI ini, rintik hujan turun sangat deras ditambah hawa dingin yang menerobos masuk lewat celah-celah jendela kamar. Lala menatap nanar ke arah kaca yang memperlihatkan suasana luar, Mendung.  Dia sedang berada di kamar yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.

      Selama beberapa bulan dia akan diasingkan di sebuah asrama yang konon katanya tempat anak nakal berubah jadi baik. Lala tidak suka diperlakukan seperti ini. Lala hanya nyaman dengan kamar ini, dia akan susah beradaptasi dengan orang-orang baru, tempat baru, tapi Papanya malah memintanya untuk tinggal di sana.

    Embusan napas gusar terdengar dari Lala. Sekarang dia hanya menunggu Papanya memanggilnya untuk berangkat ke asrama itu. Andai saja Mama masih di sini, pasti Mama akan menjadi orang pertama yang akan menentang kemauan Papa. Sayang, Mamanya sudah meninggal dua tahun silam akibat kecelakaan. Lala menengok jendela kembali, sepertinya hujan akan lama reda.

“Lala, ayo kita berangkat” teriak Papa dari luar kamar dengan keras.

Lala bergegas mengambil barang-barang yang akan ia bawa ke Asrama. Lala menatap nanar kamar yang sudah delapan belas tahun lamanya ia tempati. Dia tak rela meninggalkannya walaupun hanya beberapa bulan bahkan hari. Tak sengaja, tatapan matanya teralih ke meja rias yang di atasnya terdapat bingkai foto, di sana ada foto keluarga, Lala, Mama, Papa. Lala adalah anak tunggal.

    Dia selalu di manja saat Mama masih ada, berhubung Mama sudah meninggal, Papa bingung untuk mengurus sifat manja Lala sendirian.

    Lala melangkahkan kakinya keluar kamar, menguncinya agar tidak ada orang yang berani masuk ke kamarnya selama ia tidak ada.

“Sudah siap? Nanti kita mampir ke kafe seperti biasa ya” Ujar Papa dengan memasukan barang-barangku ke bagasi mobil.

    Lala tersenyum singkat. Tak napsu untuk menyeduh kopi kesukaannya.

    Papa melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang dengan memutar lagu galau yang hendak di tinggalkan kekasihnya.

“Kamu jangan membuat ulah di sana” wanti-wanti Papa yang takut jika Lala membuat kerusuhan di asrama.

“Memangnya Lala ini anak nakal apa. Kenapa sih Pa, harus tinggal di sana? Lala bisa memperbaiki semuanya sendiri!” kata Lala dengan memasang wajah melas berharap Papa tiba-tiba luluh dan memutar balik mobilnya.

“Papa ingin kamu mandiri. Tidak berfoya-foya. Di sana kamu pasti akan mendapatkan pelajaran yang nggak kamu dapat di sini. Sudah nurut omongann Papa” ceramah Papa dengan tetap fokus menatap lurus ke depan.

     Mobil Papa melaju dengan pelan. Sebentar lagi sampai di kafe favorite kami berdua.

“Ayo turun” Ajaknya dengan membuka pintu dan melongos meninggalkan Lala yang masih di dalam mobil.

“Kebiasaan! Anaknya selalu di tinggal dulu! Kalau anaknya di goda cowok-cowok jahat gimana” gerutu Lala dengan menyusul Papanya di belakang.

    Seperti biasa, kafe itu ramai. Banyak sekali orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk sekedar meminum kopi di kafe ini. Tempatnya memang nyaman dengan diberi dekorasi yang minimalis, cocok untuk anak muda. Tapi, untuk orang tua juga sih. Buktinya Papa sangat suka ke kafe ini. Papa selalu duduk kursi yang berada di ujung, dan aku yang selalu memesankan kopi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ASRAMA DAVINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang