"PAGIIIII" Teriak ibunya tepat ditelinga Rara. Memang ibunya itu adalah alarm terbaiknya. Lihat saja, Rara kini sudah terkaget lalu terduduk tiba-tiba ala-ala adegan sinetron yang habis mimpi buruk. Sedangkan ibunya itu hanya cekikikan tidak jelas sambil membuka jendela kamar Rara agar cahaya masuk ke dalam kamar.
"Bu, ibu kok gitu sih sama Rara, kan kaget , Buuuu," ucap Rara setengah merengek. Sambil mengingat di hari Sabtu yang cerah ini Ia ada acara apa. Lalu setelah itu Ia hanya tersenyum. Padahal masih ada ibunya. Kemudian Rara bangkit dari tempat tidur lalu segera menyambar handuk yang terjemur didepan kamar mandinya, memasuki kamar mandi, lalu konser dengan gayung ditangannya sambil ditonton oleh kecoa dan cicak yang berada sana.
Rara sedang menuruni anak tangga terakhir ketika melihat sesosok makhluk perusak jantungnya sedang duduk diruang tamu ditemani ibunya yang asik berceloteh entah apa. Karena terlihat bahwa Ia hanya manggut-manggut entah mengerti atau tidak.
"Dam, kok disini?" Rara bertanya. Yang ditanya hanya menoleh sambil menyunggingkan senyum memikat hati – bagi Rara. "Kan katanya mau jalan kan? Gimana sih kamu. Untung udah mandi, kalo belum udah mau ibu ceburin ke bak mandi," kali ini yang menjawab ibunya. Perasaan gue ngomong ama Adam dah.
•••
Dan disinilah Rara sekarang. Didalam pusat perbelanjaan yang didalamnya terdapat bioskop. Selama perjalanan tadi, mereka tak banyak bicara. Selain Rara yang tak terlalu suka bicara saat diperjalanan, juga ia bingung akan membicarakan apa. Tadi mereka membeli tiket nonton yang dimulai pukul 10.35, berarti masih ada sekitar 45 menit lagi untuk bisa memasuki teater.
Sekarang mereka sedang duduk di lantai sebuah toko buku tanpa menggenggam satu buku pun. Aneh memang. "Kirain mau nontonnya malem, Dam." Setelah sekian lama akhirnya Rara mengeluarkan suara. Alhamdulillah. "Tadinya mau gitu, sih. Tapi nanti malem gue mau futsal, daripada gajadi mending sekarang, kan?" Rara hanya manggut-manggut meng-iyakan.
"Eh iya, gimana kabar temen lo? Si Nisa?" lah? Ini si Adam kok nanyain Nisa?. Rara heran. Pasalnya, Nisa tidak pernah terlihat dekat dengan Adam.
"E-eh, baik kok baik dia. Emang kenapa?" Rara merutuki dirinya yang tergagap sendiri, "ya gapapa sih, pengen tau aja. Tapi bagus deh kalo baik baik aja," Adam menjawab dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Entahlah, mungkin Adam memang murah senyum. Karena tak terhitung dalam sehari Ia akan tersenyum berapa kali. Namun kali ini, ada yang beda dari senyumnya. Seperti.. ah sudahlah.
"Eh Dam! Bengong aja dah. Ayo udah mau mulai filmnya," setelah dipukul bahunya Ia baru sadar bahwa Rara memanggilnya.
"Eh iya yuk." Mereka segera bangkit dari duduk dan mulai berjalan menInggalkan toko buku. Adam masih belum melepaskan senyumnya. Rara jadi bingung, Ia takut jika Adam berubah menjadi orang gila seketika.
Mereka memasuki teater yang didepannya bertuliskan 'Teater 6'. Selama didalam, mereka hanya fokus menonton. Apalagi Adam, Ia sesekali bergumam kecil kala pemeran utama melakukan aksinya. Sedangkan Rara hanya menonton tanpa mengerti alur cerita. Untung dibayarin ya Allah. Syukur Rara dalam hati. Karena baginya, menonton film yang tak Ia mengerti adalah sebuah kerugian. Mending tidak usah menonton kan? Iyalah.
Setelah menonton, mereka berencana untuk makan. Karena ini sudah masuk jam makan siang, ditambah mereka berdua juga belum sarapan. Akhirnya mereka sampai didepan sebuah restoran dan memasukinya.
"Lo ngapa si, Dam daritadi senyum senyum mulu. Gue takutnya lo gila entar gue pulang ama siapa, Daaam," melihat Rara bertanya denga ekspresi lucu, membuat Adam terkekeh kecil. Dan melihat itu Rara makin heran.
"Kalo gue cerita entar lo ketawain gak nih?" Adam bertanya sambil menopang dagunya diatas tangan yang ada diatas meja. "Kan lo cerita bukan ngelawak, Dam." Rara ikutan menopang dagu.
"Ra, kalo gue suka sama...." Adam menggantung kalimatnya. Dan itu membuat jantung Rara dag dig dug serr. Jangan bilang si Adam mau nembak gue!! aduh gue jawab apa nih. Kupu-kupu berterbangan didalam perutnya membuatnya mual. Senyum Rara mengembang dengan sendirinya tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Adam.
"... Nisa, menurut lo gimana?" jantung yang tadi bergetar bahagia tak karuan seketika berubah menjadi getaran kesedihan. Tak ada lagi kini kupu-kupu berterbangan didalam perutnya. Senyumnya luntur. Kaget. Adam suka pada sahabatnya? Lalu bagaimana dengan dirinya? Nisa, apakah Ia juga menyukai Adam? Hatinya mencelos sakit membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Rara terdiam cukup lama. Entah apa yang Ia pikirkan.
"Ra, jangan bengong. Gimana menurut lo? Nisa juga suka gak sama gue? Bantuin gue dong, Ra biar gue bisa deket sama si Nisa. Ya ya ya ya," membantu? Membantu orang Ia suka untuk dekat dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana Ia bisa menjalani hari jika yang ia lihat hanya kedekatan mereka nantinya? Rara masih terdiam. Belum menjawab apa apa.
"Ra, lo kenapa sih. Lo gak suka ya kalo gue suka sama temen lo?" GAK! Ingin sekali ia mengucap kalimat itu tepat didepan wajah tampan Adam sekeras mungkin. Tapi siapa Ia? Hanya sahabat dari wanita yang Adam sukai. Baiklah.
"Siapa bilang? Gue suka kok," sama lo. Kata kata itu hanya bisa Ia lanjutkan dalam hati tanpa mengizinkan Adam mengetahuinya. Mendengar jawaban itu Adam hanya tersenyum simpul. Ya Allah kenapa ada manusia se-gak-peka Adam:(.
YOU ARE READING
YOU
Подростковая литература"saat aku berjuang mengejar dirimu, namun kamu malah sibuk. Ya, sibuk. Sibuk mengejar dirinya."