Seminggu sebelum awal semester genap, Bima sudah berada di rumah sang nenek. Rumah panggung khas Sumatera Selatan, yang bentuknya sangat orisinil seperti istana bangsawan zaman kerajaan Sriwijaya, yang masih sangat kuat dan terjaga meskipun sudah berusia puluhan tahun itu akan menjadi tempat tinggalnya.
Sang ibu menemani selama seminggu penuh, tapi ayahnya hanya bisa tinggal selama dua hari sebelum urusan pekerjaan kembali memanggil.
Dua hari pertama Bima mogok keluar rumah. Ia ribut mengomentari keadaan yang sepi, makan, tidur, mengoceh dan tidur lagi.
Pada hari ketiga ia mulai bosan dengan keluhan-keluhannya sendiri. Sang nenek menunjukkan sebuah lapangan.basket mini di halaman belakang yang membuat Bima sedikit bergerak.
Ia juga mulai mengikuti ibu dan neneknya berjalan-jalan di sekitar rumah atau jadi supir mereka berkeliling sambil memeriksa perkebunan karet dan sawit yang ratusan hektar luasnya, meskipun dengan raut muka lecek yang belum banyak berubah.
Tapi raut muka itu separuh berubah ketika mereka mengajaknya ke Palembang. Kerlip lampu kota yang sangat familiar dalam otaknya telah menyembuhkan dengan ajaib kerut kesal yang terpasang di wajah tampannya.
Bagus, pikir Bima. Walaupun bukan Jakarta, tapi Palembang sangat lumayan. Aku pasti akan sering berkeliaran di sini.
Tapi tak semudah itu.
Hanya ada dua mobil di rumah nenek Marti. Satu SUV keluaran sepuluh tahun yang lalu yang jadi kesayangan sang nenek, dan satu double cabin keluaran tahun lalu yang memang cocok dengan medan perkebunan. Semua kuncinya dipegang nenek Marti. Dan sang ibu meminta ibunya tidak memberikan dengan mudah kepada Bima kecuali dengan alasan yang jelas.
Bima harus puas dengan motor CB yang khusus dibeli untuknya sebagai transportasi ke sekolah yang berjarak sepuluh kilometer dari rumah sang nenek.
Bima agak kesal. Ia punya SIM, ia sudah delapan belas. Tapi hanya sebatas kesal. Ia tak akan bisa membenci neneknya, sama perasaannya kepada kedua orangtuanya yang telah mengasingkan dirinya di tengah kampung. Ia terlalu sayang pada mereka.
Hari pertama sekolah ia datang pagi pagi sekali. Bukan tanpa alasan, ia ingin memeriksa kondisi sekolah sebelum hiruk pikuk muncul.
Lumayan. Yah, cukup bagus sih, katanya dalam hati mengomentari sekolah barunya. Ia masuk ke kelas yang telah ditunjuk sewaktu ibunya mendaftarkan, memilih sebuah tempat duduk di pojok.
Satu per satu siswa yang datang melihat dengan heran seorang pendatang baru yang seenaknya meletakkan kakinya yang berbalut sepatu mahal yang tidak akan ditemukan di toko sepatu manapun di kota kecamatan Balai Ratu, ke atas meja dan memandang sekitar dengan cuek.
Siswa putri mulai berkerumun di pintu dan jendela kelas XI.B, berbisik-bisik dan cekikikan melihat si anak baru yang wajahnya tidak kalah saingan dengan bintang sinetron.
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, seorang anak laki laki kurus dan ringkih menghampiri Bima. Wajahnya yang memang pucat semakin memutih ketika ia berusaha bicara pada anak baru yang sangat mengintimidasi penampilannya.
"Eh, ma... maaf. Tapi... Tapi... Ini tempat dudukku." Ia terbata-bata dan cara bernapasnya aneh.
Bima menatap tanpa suara si ringkih dari ujung kaki sampai kepala. Anak itu semakin gugup.
"Oh, eh, ba...baiklah. Aku bisa pindah ke bangku lain... Kurasa."
"Kau siapa ?" Tanya Bima.
Si ringkih yang baru saja akan pergi berbalik badan. "Julizar. Julizar Budianta."
Oh, oke Julizar. Joel. Di sebelahmu siapa ?"
"Mm... Tidak ada. Aku, eh, duduk sendiri...."
"Jadi tidak ada masalah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...