"Di suatu tempat, sesuatu yang luar biasa sedang menunggu untuk diketahui"
-Carl Sagan
"Loh dek, mas Ares kemana?" tanyaku yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepalaku. Biasanya sore-sore gini, kami bertiga ngumpul di ruang tv. Tapi kini yang kulihat di sofa hanya Dio.
"Maen ke rumah temennya paling.." balas Dio singkat. Aku merebahkan diriku disebelahnya. Dia sibuk memainkan ponselnya, sedangkan aku sibuk menggonta-ganti channel tv yang daritadi memang gak ada yang bagus acaranya. Biasanya jam segini ada acara yang katanya pacarnya selingkuh terus dibawa ke rumah U*a, atau nggak sok sok jadi detektif buat mata-matain orang, udah deh gausah diomongin wkwk emang udah terlahir cringe dari sononya wkwkwk.
Pukul 7 malam, seperti biasa mama pulang kerja membawa berkah pada kami berdua yang tengah kelaparan. Mas Ares belum pulang juga dari rumah temennya. Kali ini aku makan malam bersama mereka. Mau makan bersama ataupun makan sendiri itu menurutku sama saja. Sama-sama bikin kenyang dan rasa makanannya juga gak berubah.
Setelah makan, aku memulai kegiatan rutinku, aku menyenderkan punggungku pada kursi malas. Ahh.. sensasinya sangat beda dengan duduk menyender di kursi biasa. Kursi malas memang dibuat supaya orang menjadi malas.
Phorhea©
By. D
Sial. Hari ini cuaca sedang berawan. Awan-awan itu menutupi sang dewi malam. Tidak hanya dewi malam saja yang tertutupi, tapi bintang-bintang yang lain juga kena. Hanya bintang yang paling terang saja yang terlihat dari sekian ribu bintang yang tertutupi awan, ya kamu! Itu kamu! Eh, canda deng, maksudku Betelgeuse. Seperti biasa bintang yang terletak di rasi bintang orion ini selalu menemaniku. Aku terus memandanginya, ia kerlap-kerlip bagaikan glitter.
Apakah ada kehidupan lain selain di bumi? Alam semesta ini sangat luas. Apa Tuhan menciptakan ini hanya untuk bumi yang menjadi satu-satunya kehidupan? Apakah selama ini, di waktu yang sama juga ada kehidupan lain disana? Bagaimana dengan makhluknya? Apakah manusia? Tidak. Aku rasa bukan manusia, lalu bagaimana dengan peri? Ah seperti di film saja. Akan ada banyak tanda tanya jika aku menuliskannya disini satu persatu.
Entah kenapa serasa bumi berputar lebih cepat. Eh? Atau aku yang salah? Awannya yang bergerak lebih cepat? Aku terus memandangi awan-awan yang saling bercengkerama itu. Aku sudah mencubit pipiku, aku tidak mimpi, ini benar-benar nyata! Awan-awan itu terus menerus bergerak hingga membentuk spiral. Okay, aku agak takut sekarang. Apakah langit sedang marah padaku karena aku sering mengintip mereka? Tidak, aku rasa tidak. Lalu, apa? Badai? Disini tidak ada angin sama sekali. Bahkan pohon-pohon tetap bertengger disana dengan tenang.
Ini mulai tidak waras. Awan-awan itu terus berkumpul menjadi satu kesatuan. Dan sekarang semakin tebal! Aku pikir aku akan tersambar petir jika terus-terusan menatapnya. Aku pun segera berlari menuju rumah.
Antares pov
Kerja kelompok memang merepotkan. Apalagi kalau ngerjainnya sampe malem-malem gini. Rasanya pengen kabur aja dan biarin mereka yang ngerjain. Tapi, nanti dikira aku cuman numpang nama doang? Ah serba salah kan.
Sesampainya aku di rumah, aku menemukan Vio yang lari tergesa-gesa. Napasnya tak beraturan dan wajahnya pucat. Aku mengerutkan dahiku, lalu menatap Dio yang juga tengah kebingungan melihat tingkah aneh Vio.
"kakak kenapa sih??!" ujar Dio panik menggoyangkan tubuh Vio. Sementara ia terus saja memasang wajah ketakutan.
"Ada apaan sih? Mama kemana?" ucapku.
"LANGIT SEDANG MARAH PADAKU!" katanya. Oh, hanya itu. Vio itu suka berkhayal dan menunjukkan hal-hal yang tidak pasti pada kami. Aku sendiri bingung apa yang ada dipikirannya. Ah pikiran cewek emang gak bisa ditebak sih. Kami pun kembali tenang, Dio juga kembali ke sofanya dan menonton tv, aku melangkah menuju kamarku. Namun Vio menarik-narik tanganku.
"MAS!! KALI INI PERCAYA SAMA VIO! VIO BENERAN!! VIO GAK BERKHAYAL!!" ucapnya sambil menggoyangkan lenganku. Aku lihat dia juga meyakinkan Dio untuk percaya padanya kalau langit sedang marah. Aku menguap dan melanjutkan perjalananku menuju kamar. Namun, saat melewati pintu yang menuju halaman belakang rumah, aku melihat cahaya biru aneh yang sangat silau. Aku pun menggunakan telapak tanganku untuk mengurangi kesilauan. Siapa sih malem-malem gini yang mainin lampu?!
"TUHKAN!! LIAT! ITU MAKIN MENJADI-JADI!!!" teriak Vio dibelakangku. Aku mengerutkan dahi. Jadi yang dia bilang itu beneran? Sial. Tak lama kemudian aku merasakan ada suatu energi yang menarik kami ke sana. Disini benar-benar tidak ada badai, lalu magnet jenis apa yang bisa menarik kami sekuat ini?
Sedari tadi Vio mencengkram lenganku, menampilkan wajahnya yang benar-benar ketakutan sekarang. Sementara Dio berusaha menahan tubuhnya agar tak terhisap. Aku tau dia ikutan panik. Aku pun maju satu langkah.
"MAS MAU NGAPAIN? KALO ITU ALIEN GIMANA?! NANTI KITA DICULIK MAS?!!!" teriaknya saat itu membuatku berpikir dua kali untuk mendekati spiral aneh itu. Tapi, tapi.. ahh! Aku sangat penasaran!
"Kita tinggalin aja gimana?! Palingan besok udah ilang!" ujar Dio.
"Bego! Gerak aja susah gimana mau ninggalin!!!" ucapku kesal. Kami benar-benar kehabisan akal untuk benda yang ada di depan mata itu. Ini bukan mimpi.
"Gimana kalo kita masuk ke sana?" nah, kali ini ide paling gila yang pernah ku dengar dari Vio.
"Kalo kamu mau gali kuburanmu ya gali aja sendiri! Gausah ngajak-ngajak!!!!" ucapku menjitak kepalanya. Ia mengaduh lalu menggerutu.
Sudah berkali-kali kami berteriak minta tolong. Namun tak ada yang datang sama sekali. Juga tak ada tanda-tanda kehadiran mama di halaman belakang ini. Serasa kami berada di lingkup yang sangat kedap suara. Minta pertolongan juga akan sia-sia.
"Mas, jalan satu-satunya cuma itu! Kita gatau bakalan gimana disana. Mau kita hidup ya syukur atau kita mati ya takdir. Vio gatau apa-apa tentang bencana ini. Padahal tadi di web malam ini ada hujan meteor. Ga ada awan penghisap manusia gini, mas!!" ucapan Vio membuatku bungkam. Ingin berlari pun tak bisa, kami hanya mengandalkan gagang pintu untuk menahan kami. Teriak pun percuma, tak ada yang mendengar.
"Oke. Kita bertiga akan kesana. Tapi, sebelum itu, mas mau bilang,mas sayang sama kalian berdua! Emang sih, selama ini mas gak pernah nunjukin rasa ke kalian. Tapi, kalian itu yang bikin hari-hari mas semangat!" ucapku. Aku tau ini memalukan, bersikap lembek di depan adik-adikku. Ahh! Rasanya seperti mengucapkan kata-kata terakhir saja. Namun, aku senang. Ternyata mereka berdua juga menyayangiku.
Kami bertiga pun bersiap dan bergandengan tangan, lalu melepas pegangan kami dari gagang pintu. Lalu memasuki benda yang mirip vacuum cleaner itu. Yang terakhir ku lihat adalah kami benar-benar terhisap dan semuanya berubah menjadi gelap dan hampa.
-
Entah apa yang terjadi, aku mengedipkan mataku berkali-kali. Saat itu aku senang bukan main! Aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Namun, kabar buruknya adalah, dimana Vio dan Dio? dan ini dimana? Yang jelas ini bukan kamarku dan ini bukan rumahku. Ini sebuah ruangan yang serba melayang. Melayang yang kumaksud ini bukan terombang-ambing, tetapi melayang dengan stabil.
"Selamat datang di Phorhea, wahai manusia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Phorhea
Fiksi IlmiahDari seluas angkasa raya ini apakah hanya di bumi yang memiliki kehidupan? Itulah sebuah kalimat yang hanya ada didalam pikiran seorang gadis umur 16 tahun ini, Violet Dwirania Dewandara. Malamnya yang panjang hanya dihabiskan untuk mengamati langit...