CHAPTER 6

26 0 0
                                    


Semakin kesini, Aldo dibuat semakin bimbang akan keputusannya untuk setidaknya menjaga jarak dengan Aninda. Buktinya, di tengah siang hari yang teriknya masih merajalela itu, di dalam ruangan kelas yang sudah kosong, Aldo dengan sepenuh hati menorehkan namanya dan Aninda di sudut papan tulis. Berbekal spidol yang ia comot dari dalam laci guru dan keinginan hati yang terus berperang dengan logika, si pemuda gambarkan simbol hati di antara namanya dan si gadis.
Aldo ♥ Aninda
" Terlalu frontal," Akunya sembari memiringkan kepala memandangi karyanya itu. Setuju dengan mulutnya sendiri, si pemuda angkat tangan kiri untuk menghapus namanya dan Aninda dengan tepian telapak tangan. Sengaja menyisakan huruf A di kiri dan kanan simbol cinta-juga noda hitam remang-remang yang tersebar oleh sapuan tangannya.
" Piket kita sudah selesai dari tadi, Dooo...." Dari sudut kelas, tidak jauh dari meja guru, Bian duduk tanpa mengenakan alas kaki. Kedua lututnya ditarik agar sepantaran dengan dada. Cocok untuk kepalanya berpangku. Yang kemudian membuat telapak kakinya bersentuhan langsung dengan lantai kelas yang bersih, mengkilap, dan dingin.
" Yang lain aja udah pada pulang !" Lanjutnya tanpa ada niatan untuk secara fisik menyerang pemuda yang sudah ia anggap sebagai teman dekat itu.
" Bentar-bentar...." Aldo menyahut dengan agak sebal. Setelahnya kembali mengabaikan si kawan yang sudah menghabiskan lima menit waktunya demi menunggui dirinya yang sibuk sekali dengan papan tulis.
Selanjutnya, mereka berdua terus terdiam di posisi masing-masing hingga lima menit berikutnya berlangsung dan dilalui begitu saja dengan sia-sia. Aldo sibuk memikirkan visualisasi yang cocok untuk menggambarkan rasa sukanya kepada Aninda-yang tidak pernah surut, hanya berubah wujud saja-dengan tinta dan papan putih. Sementara Bian dibiarkan hingga bokongnya keram sebab terlalu lama berjongkok dan membiarkan kakinya membeku oleh dinginnya keramik.
" AIH DO !" Geram, si pemuda melesat berdiri dari jongkoknya. Lantas mencak-mencak melangkah dengan berderap mendekati Aldo. " APA SI-oh."
" Suka nge-dudel ya ?"
Di papan tulis putih yang tiga perempatnya sudah berisi coretan artistik nan ekspresif itu, Aldo yang wajahnya merengut sebab sangat fokus itu sampai tidak mendengar komentar Bian sama sekali. Tepi bawah papan tulis sudah disesaki oleh rangkaian karakter doodle yang saking padatnya, sampai terlihat bagaikan pecahan mozaik yang sudutnya tidak meruncing. Merambat ke tengah papan, tumpukan karakter imajinatif tersebut semakin berkurang hingga menyisakan ruang kosong yang kelewat kotor sebab diusap dari hitamnya tinta berkali-kali.
Entah sudah di hapusan ke berapa Aldo mengucek-ngucek namanya dan Aninda. Berikut pula dengan simbol cinta yang kian menggelap lantaran diusap bersih berulang-ulang. Sudah berbagai kombinasi si pemuda coba. Rata kiri, dengan ilustrasi ala mandala yang langsung gagal total-Aldo baru sadar bahwa ia memang tidak berbakat sama sekali menggambar mandala. Lalu digantikan dengan titik fokus utama digeser ke bagian bawah papan. Disesaki oleh rangkaian flora yang semakin lama justru kian mirip dengan untaian ular yang saling terlilit. Tubuh mereka membengkak di beberapa poin. Aldo sampai heran sendiri dengan apa ia ciptakan.
Terbaru, ia ulangi lagi melukiskan 'Aldo ♥ Aninda'. Bedanya, ia menggambarnya tepat di tengah-tengah papan. Dilengkapi dengan tumpukan makhluk-makhluk mirip cacing yang sungguh fashionable-mereka semua mengenakan atribut streetwear-bertumpuk dan saling bersandingan antar satu sama lain dengan begitu rapatnya. Beberapa objek modern seperti walkman sampai skateboard juga sengaja diselipkan sebagai tambahan pesan intrinsik mahakarya dadakan Aldo itu. Kurang lebih, konsepnya sama dengan easter egg yang tenar sekali dipakai di film-film.
" Itu kenapa sih dihapus terus ? Sampe kotor itu...."
" Bingung." Aldo langsung menjawab. Rasa frustrasinya tidak tertutupi sama sekali.
Mengangguk sebagaimana profesor yang mengerti keluhan anak didiknya, Bian sampai rukuk memandangi karya Aldo tersebut. Otaknya ikut berpikir keras memikirkan alternatif terbaik agar hasil akhir 'coretan' Aldo itu dapat berakhir sebagaimana yang temannya itu inginkan-sejujurnya, Bian tidak tahu pasti seperti apa hasil akhir yang diinginkan Aldo sih.
" Coba lope-nya itu diganti, Do." Setelah lama merengut dan membungkuk, Bian akhirnya bersuara juga. Matanya refleks menyipit bersamaan dengan bibir yang agak dimanyunkan. Kedua tangannya langsung naik untuk bertengger di pinggang tatkala ia menyambung kalimatnya dengan begitu yakin. " Iya. Coba ganti sama el-o-ve-e aja, Do."
Patuh sebab sudah hampir kehabisan ide betulan, Aldo langsung saja ikuti saran temannya itu. Telapak tangan kirinya yang sudah begitu legam digunakan sekali lagi untuk menghapus lambang cinta yang isinya sudah dipenuhi dengan warna hitam tinta. Yang bukannya membuat karakter tersebut lesap, malah membuatnya semakin melebar kemana-mana.
" Duh, gima-" Sembari menahan diri untuk tidak mencak-mencak sendiri, Aldo buru-buru merogoh penghapus papan tulis yang terletak di sudut kiri papan.
" Tulisan love ya ?" Tanyanya memastikan. Sayang sekali wajah yang ia lontarkan kepada Bian adalah wujud ekspresi 'marah tertahan' yang sungguh terlihat menyebalkan. Beruntung Bian adalah salah satu contoh manusia paling legowo di muka bumi ini. Fun fact, sampai sekarang, Aldo belum pernah menemukan sosok Bian yang meninggikan suara hanya untuk mengutarakan rasa kesal.
Rampung menghapus sebentuk gumpalan hitam tersebut sampai sebersih mungkin, Aldo dengan kesadaran penuh dan kehati-hatian tingkat tinggi menuliskan istilah bahasa inggris tersebut dengan gaya tulis terbaiknya. Memulainya dengan menuliskan namanya terlebih dahulu, Dengan maksud dilanjutkan dengan love, dan Aninda.
Ald
" Jangan pakai nama lengkap." Bian menukas seketika.
Dan tanpa tertinggal sedikitpun, Aldo balas menyahut dengan tenang. Akhirnya mengerti dengan idenya Bian. " Biar seimbang sama yang rame di bawah kan ?"
Dua huruf terakhir pun dihapus. Menyisakan satu huruf yang berdiri sendiri di atas kerumunan yang menyerbu dengan bersusah payah dari area bawah papan.
Hati pun dibubuhkan. Tentunya bukan bentuk visualisasi cinta yang tengahnya dihitamkan hingga ke tepi garis objek.
Hanya ada satu kata yang dicoret dengan font simpel di sana.
Love
Aldo yakin sekali ia sukses meniru gaya tulis Times New Roman ketika memandangi kata itu.
Lalu, meniru karakteristik nama Aldo yang hanya menyisakan inisial saja, simbolisasi Aninda pun dimasukkan. Dan lantaran memiliki nama awalan yang sama, keduanya pun muncul bagaikan satu subjek yang sama.
A love A
Dua orang yang berbeda, bersanding sebab cinta memadu mereka berdua. Berakhir serasi sampai identitas mereka pun saling mengisi satu sama lain. Berdiri tegap dengan kekuatan yang sama, selagi dunia menentang mereka dari bawah sana-
Duh, rasanya Aldo ingin berteriak begitu lantang perihal bagaimana ia dan Aninda itu memang sebetulnya cocok sekali !
" Waa MANTEP YAAN !" Aldo betulan tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia sampai tidak bisa berhenti menepuk-nepuk bahu Bian berkali-kali dikarenakan bangga sekaligus merasa bersyukur sekali dengan masukan Bian.
" Ah mantep Kamu, Yaaan ! Serius !"
" Ya-iya-iya ! Tanganmu kotor Do !"
Benar saja, satu area di bahu kanan baju Bian sudah berubah menjadi abu-abu gelap oleh ulah tangan Aldo.
" EEEh ! Maaf, Yaan !" Rasa senangnya surut seketika. Digantikan oleh perasaan panik yang langsung terlihat wujud nyatanya dari riak otot wajah Aldo. Namun, saat menyadari seragam siapa yang sebetulnya telah si pemuda nodai, Aldo mendadak merasa riang lagi. Parahnya, ia bahkan sampai merasa lucu hingga tertawa lantang atas kemalangan yang menimpa Bian.
" Bisa abis Aku kena marah Mamaku, Do !"
" Pinjem bajuku aja, Yan !" Sahut Aldo dengan begitu entengnya. Gema tawanya masih menggelegar meledek teman sendiri yang tidak hanya rela menungguinya hingga keram dengan kaki mendingin sebab terlanjur kesemutan, tetapi juga aktif menyuarakan saran yang benar-benar mengubah hasil akhir oret-oret Aldo sehingga menjadi begitu bermakna sekaligus artistik. Mengutip dari isi hati Bian, Aldo ini sudah berperilaku kurang ajar kepadanya.
Kurang ajar anak ini !
Begitu kira-kira katanya dalam hati.
" Oi Do !"
" Iya Yaaan....astaga item banget ya ?"
Lantas tawanya semakin membahana. Bertahan untuk memekakkan telinga dan membuat Bian semakin dongkol hingga lima detik lamanya. Berakhir tepat sekali ketika ia mendeteksi sosok Aninda melewati kelas. Bersebelahan dengan pemuda asing yang belum pernah Aldo lihat batang hidungnya selama ini.
Dunia langsung terasa suram seketika melihat mereka berdua.
Seingat Aldo, tidak begini caranya karma bekerja. Bukankan mata seharusnya pantas dibalas dengan mata juga ? Baju Bian yang ternodai oleh seberkas tinta seharusnya dibayar dengan lengan baju Aldo yang menghitam oleh tinta permanen.
Mata dibalas mata. Gigi dibalas....gigi ?
Tapi Aldo tidak begitu ingat kebenaran kutipan tersebut. Ia bahkan tidak begitu ingat siapa yang bersabda demikian. Si pemuda justru lebih ingat ucapan serupa dari karakter musang kerempeng bermata satu dari seri film Ice Age.
Kurang lebih, ia bilang seperti ini:
'An eye for a tooth, a nose for a chin, and a butt for....good luck.'
Betul, dia bilang seperti itu. Persis sekali.
" Dia memang deket sama Aninda dari kelas tujuh."
Bian mendadak bersuara setelah menyadari keterdiaman Aldo yang begitu mendadak. Mengikuti kemana mata kawan yang lancang sekali mengotori bajunya itu memandang ke luar kelas.
" Kok Kamu ga bilang sih ?"
Sungguh, wajah Bian rasanya tidak bisa dikontrol sama sekali untuk tidak tampil dengan membelalak, sudut bibir yang diangkat dengan kaku dan dalam hingga ke pipi, komplit dengan sepasang alis yang langsung menukik tajam.
" Lah ?" Tukasnya cukup tegas. " Kamu gak nanya sih !"
" Ya sudah ah, pulang. "
" Eh-eh ! Papan-" Sigap Bian menahan bahu temannya itu sebelum benar-benar angkat kaki dan meninggalkan kelas dengan begitu mudahnya. Sudah bokongnya keram, bajunya kotor, Bian pastinya tidak mau membersihkan karya seni oleh Aldo yang begitu penuh di sepertiga papan tulis itu.
" Papannya bersihin dulu euy !"
*******
Sebetulnya, dari lubuk hati yang paling dalam, terdapat secuil hasrat yang terus membujuk Aldo untuk cabut dari kelas hari ini. Kepalanya tidak kunjung mendingin setelah mengingat dengan jelas bagaimana Aninda tampak begitu tenang-sangat nyaman-berjalan berdua dengan siswa asing itu. Bahkan ketika kelas sudah dimulai pun, seonggok rayuan tersebut tidak jua berhenti membujuknya untuk meninggalkan kelas begitu saja.
" Eh Aldo,"
Tanpa angin dan hujan Nadia, sosok gadis yang sukses menyeret Bian ke hadapan peradilan ruang bimbingan konseling tempo hari, sudah berdiri dengan enteng sekali di hadapan Aldo.
" Halo." Jawab si pemuda datar.
Entah apa yang dilakukan gadis itu, pokoknya Aldo sudah duluan menyibukkan diri dengan merogoh tas demi mengeluarkan buku musik yang bisa-bisanya terselip dengan sangat rapi. Aldo sampai harus mengacak-acak tasnya itu hanya untuk menemukan buku tipis yang mungkin hanya berisi dua puluh lembar kertas tersebut.
" Eh Dir ! si Aldo katanya suka sama Kamu. Dia mau beliin kamu cokelat !"
" Eh ?!"
" Hah ?'
Mungkin, sebab terlalu kesal dengan keadaan, reaksi spontan Aldo barusan meluncur dengan begitu ketus. Terlalu pedih sampai-sampai Aldo sendiri merasa bersalah dibuatnya.
Tapi serius, mengapa gadis norak ini menjadi menyebalkan sekali ? Urusan BK kemarin jelas-jelas tidak memberatkan nama Nadia sama sekali. Apa karena Aldo menyampaikan perasaan Bian waktu itu di kantin-yang notabenenya adalah tempat yang hampir tidak pernah sepi-sehingga membuat si gadis merasa malu sekali ? Tapi, mengapa Bian juga tidak mendapatkan balasan serupa sebagaimana apa yang Nadia lakukan terhadap Aldo ?
Namun, tatapan Nadia waktu itu....bagaimana gadis tersebut menunjukkan raut wajah seolah-olah merasa jijik hanya dengan mendengar nama Bian disebut di hadapannya....
Mungkin Nadia membalas Bian dengan balik menghinanya dengan begitu khidmat. Aldo mengira sambil berusaha menghibur diri.
" Ya udah. Nanti Aku beliin. "
" Ih....apaan sih ?!"
Nadia sampai rela menyeret orang lain untuk membalas Aldo. Dan si pemuda gagal untuk tidak menggeleng kepala tidak habis pikir jadinya. Aldo jadi heran sendiri dengan apa yang sebenarnya dikagumi oleh Bian tentang sosok gadis pongah satu ini.
" Eh, Kamu ga suka sama Bian kenapa sih ?"
Kedua mata Nadia yang semula tajam sekali memandangi gerak-gerik Aldo pun beralih menatap plafon di sisi kiri ruangan. Tangan kanannya terangkat, telapak tangan lantas bergerak menangkup pipi dengan gestur centil. Kedua alis si gadis sedikit mengerut, mirip dengan ekspresi seseorang yang tengah berpikir untuk menimbang-nimbang sesuatu.
Lalu, dengan mudahnya Nadia menjawab santai, selayaknya apa yang hendak diucapkan adalah suatu opini yang begitu mudah meluncur dari mulutnya." Hmm....jelek."
Kalau bukan karena Aldo waras, mungkin ia sudah mencak-mencak mengatai balik siswi manja yang satu itu.
*******
Hari-hari Aldo, pada kenyataannya, tetap bergulir seperti biasa. Ia tetap sukses menjawab soal maupun pertanyaan lisan berkali-kali, makan di kantin bersama Bian, menorehkan satu lagi isi hatinya-baca : surat cinta-di secarik kertas yang tidak lagi ditunjukkan terang-terangan, menjauhi Aninda-kali ini, Aldo yang secara aktif menghilang setiap kali si gadis berada di area radarnya-dan diakhiri dengan mampir ke minimarket untuk membeli satu batang coklat. Benar, Aldo tidak akan bisa melupakan 'janjinya' yang satu itu.
Terkutuklah dirimu Nadia !!!
" Yan, Aku ingin ngasih coklat."
" Coklat ?" Tanpa sadar, Bian menoleh ke meja Aninda yang masih kosong. Merasa canggung sendiri, ia salah tingkah dan langsung mendehem.
" Buat siapa ?"
" Ke Dira. Tau Dira nggak ?"
Lucu sekali, Pikir Bian. Siapa juga yang tidak mengenali rekan-rekan sekelas sendiri ? Oh-si pemuda sigap menoleh ke temannya itu-Aldo lah orangnya.
" Tau atuh...." Di otaknya langsung terproyeksi bagaimana anehnya tingkah polah sosok Dira yang dimaksud Aldo ini. Gadis itu bisa tampil dengan begitu canggung, sering sekali salah tingkah ketika bersosialisasi dengan manusia selain teman dekatnya-yaitu Nadia seorang. Dan mungkin karena lingkar pertemanannya yang begitu sempit, Dira juga mengadopsi sedikit kejudesan Nadia. Sekalipun jarang sekali sebetulnya gadis itu sampai begitu frontal layaknya teman dekatnya yang mulai Aldo benci tersebut.
" Anaknya emang terkenal gitu ya ?"-pendiam, kikuk, agak frontal, susah bergaul.
" Biasa aja sih sebenernya, tapi ya tau lah."
Mengangguk paham, Aldo tanpa basa-basi memamerkan coklat yang ia beli khusus untuk sosok Dira yang bahkan tidak si pemuda kenali. " Jadi gini, Aku kemarin waktu ikut paduan suara, dibilang sama Nadia Aku suka sama Dira."
" Oh-" Mendadak wajah Bian membeku. Air mukanya yang biasanya terlihat lapang itu menjadi tegang tiba-tiba. Rahangnya mengeras. Alisnya yang biasanya begitu ekspresif memberi emfasis untuk setiap bentuk emosi yang si pemuda tunjukkan langsung terdiam dan dibiarkan menggantung dengan tenang di atas soket matanya.
" Nadia."
" Masih kesel ya ? Ya-ya udah, abis itu....Dia bilang katanya mau dikasih coklat sama Aku. Terus Aku iya-in."
" Ohh...."
Bian membuang napas panjang. Bahunya ikut turun seiring dengan hembusan udara yang keluar dari mulutnya dengan teratur. Sorot matanya yang sempat menggelap akhirnya berhasil merebut hangatnya lagi. Pun ketegangan di wajahnya pun berkurang drastis.
Baguslah, Aldo bermonolog demikian dalam hatinya. Artinya Bian sudah beranjak melupakan Nadia.
Andai saja mengusir Aninda dari satu sudut kosong di hatinya memang semudah itu juga.
" Tapi gini," Sekeras apapun Aldo berusaha menanggalkan apapun yang terkait dengan Aninda dari kehidupannya, ia justru terus dihadapkan dengan jalan pintas baru yang membawanya kembali mengenang manusia setengah malaikat itu. Dan kali ini, teori 'alergi coklat' yang dulu sempat membuatnya sungguh terheran-heran kembali menariknya mengingat Aninda. " Aku agak khawatir kalau Dira sebenarnya alergi coklat gimana ? Masa orang alergi coklat dikasih coklat ? ga mungkin dong?"
" Emang ada orang alergi coklat ?"
" Ada lah, buktinya-"
Tepat di sana. Aninda hadir lagi di pikiran Aldo.
" -Buktinya....Aninda alergi."
Ah ! Rasanya Aldo sedang dijungkirbalikkan tubuhnya hingga lupa diri.
*******

cinta pertama aldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang