11. Thank you, Ayden

290 48 31
                                    

Sebuah suara deru motor terdengar. Seorang pria berjaket denim itu turun dan melepas helmnya. Ia berjalan memasuki gerbang sekolah. Menyusuri koridor dengan mendapat tatapan menilai dari beberapa siswa yang masih tinggal di sekolah di waktu yang sudah terbilang cukup sore. Namun, laki-laki itu rupanya tidak terlalu terusik mendapat tatapan seperti itu. Tidak peduli. Ia memilih untuk tetap melanjutkan langkahnya agar segera sampai ke kantin SMA Cendrawasih—tempat yang menjadi tujuannya dari awal. Karena Arsa sudah menunggunya di sana.

Derap langkahnya terdengar di area kantin yang lumayan sepi kali ini. Membuat sepasang mata yang sedari tadi tertunduk dengan kedua jemari yang saling terpaut menatap ke arahnya.

"Hai, Fiona." Ethan melangkah lebih dekat. Kemudian, menarik sebuah kursi dan mendudukkan dirinya tepat di hadapan gadis yang baru saja ia sapa.

"Tumben ngajakin makan di kantin," katanya seraya terkekeh pelan. Tapi, tidak dengan Arsa. Gadis itu masih diam sedari tadi.

"Hei, kok diem aja sih?" Tangan Ethan menggenggam kedua jemari Arsa yang masih terpaut. Mengusapnya pelan, menyalurkan rasa hangat—yang sayangnya tidak bisa Arsa rasakan—dari telapak tangannya.

"A-aku ... aku cuman mau nostalgia aja," balas gadis itu tertatih dalam kalimatnya. Ia melirik pandang pada laki-laki yang sedang berdiri tidak jauh dari tempatnya dan Ethan duduk. Memberi senyum sekilas sebagai balasan atas kalimat “Gue tau lo bisa” yang laki-laki itu lontarkan tanpa suara. Kedua tangan laki-laki itu terlihat mengepal di udara. Seolah sedang menyemangatinya dari balik tembok kantin.

"Nostalgia?" Ethan terkekeh lagi. "Kamu kangen sama aku, ya?"

Arsa tersenyum singkat. "Iya."

Ethan kembali mengelus-elus kedua telapak tangan Arsa. Tak sadar bahwa usapannya yang terlalu kencang—dengan sedikit menekan—membuat titik bekas tancapan jarum beberapa jam yang lalu dibuat mengeluarkan darah kembali.

"Lhoh, Fiona? Kok tangan kamu berdarah?" Ethan berkata panik. Buru-buru ia mengambil tisu di depannya untuk menghapus jejak darah yang mengalir di tangan Arsa juga tangannya. "Perasaan aku nggak menekan tangan kamu pakai kuku deh?"

Arsa kelimpungan. Tidak menyangka jika Ethan akan menekan lukanya hingga ia kembali mengalami pendarahan di telapak tangannya. "E, itu ... Tadi tangan aku nggak sengaja kena jarum peniti pas aku mau copot penitinya dari sini." Arsa beralibi sambil menunjuk kerah baju seragamnya. Menunjuk tempat dimana semula penitinya berada.

"Ah, gitu..." Ethan mengangguk-anggukan kepalanya. "Maaf karena aku nggak tau," katanya seolah merasa bersalah karena telah menekan luka Arsa. Ah, tidakkah ia sadar bahwa maafnya bahkan terasa tidak cukup karena luka yang jauh lebih besar telah ia berikan kepada Arsa jauh sebelum ini?

"Nggak papa," balas Arsa seraya tersenyum simpul. Matanya menatap iris cokelat Ethan."Yaudah, aku pesenin makan ya? Kamu masih suka mie ayam baksonya Bu Sri, kan?" Arsa berdiri dari bangkunya. Bersiap untuk berjalan ke salah satu stan kantin.

"Eh, kamu masih inget?!" Ethan berseru kaget. "Aku pikir kamu udah lupa kalau dulu aku suka mesen misonya Bu Sri." Ia terkekeh kecil.

"Kan bilang mau nostalgi." Arsa sempat menjawab ucapan Ethan sebelum akhirnya memilih untuk langsung memesan mie ayam bakso kepada Bu Sri—salah satu ibu kantin langganan mereka, dulu.

Ayden tersenyum simpul melihat Arsa yang sudah berani berbicara banyak dan menatap mata Ethan. Ini adalah bagian dari rencananya untuk membuat sikap self-injury Arsa perlahan menghilang.

Berdamai dengan masa lalu.

Mama Ayden adalah seorang dokter psikiater. Ia sedikit banyak belajar tentang kepribadian manusia dengan mamanya. Laki-laki itu sudah cukup paham tentang baik buruknya dampak dari kepribadian manusia itu sendiri. Maka tak heran, saat Ayden mengetahui Arsa adalah pengidap self-injury, ia langsung bersikeras mengajak gadis itu untuk pergi ke salah satu dokter psikiater di Jakarta—yang tak lain dan tak bukan adalah mamanya sendiri.

Wish to be Saved Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang