Pecahan kaca

16 1 0
                                    




Aku menatap seorang wanita yang berdiri di hadapanku. Sesosok wanita yang memiliki tinggi kurang lebih 145cm. Rambutnya terurai panjang hingga bagian dadanya. Kedua bola matanya yang bulat, berpadu dengan hidungnya yang mancung. Di tambah alis tebal yang melintang di atas kedua matanya, menambah kental kecantikan yang menyelimuti wajahnya. Wanita itu, dengan kedua bola mata juga sedang menatapku. Menatap dirinya yang tak mungkin memutar ulang roda waktu yang terus bergerak maju.

Ia sedang menanti waktu untuk menerima hukuman untuknya. Matanya tak mampu menyembunyikan sesal yang kini menghantuinya. Sedang, tak ada cara yang lebih baik untuk menghukum wanita itu, selain membiarkannya hanyut dalam ingatan yang menikam seluruh perasaannya dengan tajamnya kisah yang menjelma pisau. Pisau yang berbahan dasar kenangan dan di bakar di dalam tungku yang di sebut penyesalan.

Kisah yang keras kepala itu tak mampu terbendung, pun sekuat apa wanita di cermin itu menahannya, tetap saja bajingan kecil itu menguasai setiap inci isi kepalanya. Dengan bebas menari tanpa permisi, mengoyak seluruh bagan paling sensitif dalam dirinya. Perasaannya, hingga Wanita itu hanyut bersamanya, dalam larutan ingatan masa kecilnya, yang juga merupakan masa kecilku.

Masih begitu kental, saat ketika ibu harus meninggalkanku di hari pertama masuk TK. Saat ketika aku mengetahui bahwa ibu akan meninggalkanku untuk pulang. Segera Tangisku pecah. Lalu ibu meraih tubuhku dalam pelukannya seraya berbisik "Jangan takut, guru-gurumu orang yang baik. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, dan jangan nakal." Namun aku, tak mengerti semua itu. keinginanku saat itu adalah ibu berada di sampingku, Sebab sekelilingku terasa asing. Aku tak mampu menahan air mataku yang terus mengalir, ku dudukkan badanku ke lantai dan merontah tanpa henti hingga seragam yang ibu belikan itu menjadi kotor. Lalu sedikit cubitan kasih sayang menenangkanku. Dengan nafas yang terputus- putus aku menatap ibu yang berjalan sambil melambaikan tangan dengan senyum penuh kebahagiaan.

Ibu selalu menepati janji bahwa tak akan terlambat menjemputku. Di waktu-waktu aku sedang membaca doa sebelum pulang bersama teman-temanku, biasanya ibu telah terlihat berdiri di ambang pintu. Bersama dengan beberapa ibu-ibu lainnya yang juga menunggu anaknya usai membaca doa. Setelah usai membaca doa, aku dan ibuku melangkah pulang. Menapaki jalan yang sama saat hendak mengantarku ke sekolah. Jalan yang telah berpuluh tahun tak di lapisi aspal.

Jalan bebatuan yang menyimpan banyak kenangan masa kecilku. Di jalan itu, ketika perjalanan pulang, aku tak pernah luput menceritakan apa yang ku alami di sekolah. Mulai dari yang sedih, senang, hingga cita-cita. semua ku ungkapkan kepada ibu di jalan itu. di jalan pulang. Jalan yang juga merekam kemarahan ibu saat mobil atau kendaraan lain lewat dan mengacaukan pernafasan kami dengan debu yang di libasnya. "Dasar sombong!" lalu ibu akan meneriakkan kata itu seraya melindungiku dari debu yang di muntahkan roda kendaraan itu.

Begitu tiba di halaman, aku langsung berlari menuju pintu rumah kami dan membukanya. Masuk ke kamarku dan melepas seragam sekolahku, lalu kembali menemui ibu yang sedang menyiapkan makan siang untuk kami semua. Membungkus dalam rantang 3 susun, dan kembali menapaki jalan itu. jalan yang telah lama tak di lapisi aspal.

Namun, arah yang di tuju akan sedikit berbeda pada persimpangan jalan yang tak jauh dari rumahku. jika hendak mengantarku ke sekolah ibu akan berbelok ke arah kanan. Namun jika hendak mengantarkan makan siang untuk ayah dan kami semua, ibu akan berbelok ke arah kiri. Ke arah sawah yang di garap ayah. Lalu kami akan melewati sungai tempatku bermain air jika hari telah sore, seperti menangkap ikan bersama anwar, atau belajar mencuci pakaianku sendiri.

Salah satu kelebihan ibu, adalah pandai mengatur waktu. ketika kami sampai, ayah belum begitu lama berlalu dari membersihkan sisah lumpur dari badannya. Terlihat dari tangannya dan kakinya yang masi basah sebab di guyur air sungai. Sedikit saja waktu yang ibu butuhkan untuk menghilangkan letihnya. Di isi dengan percakapan kecil seputar bagaimana keadaan sawah, lalu bergegas menyiapkan makan siang yang berada di dalam rantang.

Pecahan KacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang