TEALA
Setelah memarkir Transformers dengan cantik, aku meloncat turun darinya. Bandara selalu ramai, tidak peduli hari apa dan pukul berapa kau mengunjunginya. Contohnya seperti sekarang. Hari ini adalah Jumat dini hari yang hangat layaknya temperatur normal di Los Angeles pada saat musim semi, dan Bandara Internasional Los Angeles masih penuh sesak oleh makhluk hidup. Aku memakai kardigan, memasang kacamata hitam, dan siap untuk menjemput si selebriti.
"Kau melewati si selebriti, miss," celetuk seseorang di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Dad sedang bersandar di dinding dengan kacamata hitam kerennya serta koper kecil di samping kakinya. Menyebutnya si selebriti merupakan gurauan pribadi kami. Sedangkan profesi Dad sendiri jauh dari kata selebriti.
Aku tergelak pelan kemudian memeluknya hangat—sehangat temperatur malam ini. "Kau yakin hanya membawa koper itu? Bukannya kau akan menetap selama dua minggu?"
Sembari berjalan, Dad menggandeng tanganku. "Oh, kukira kau masih menyimpan beberapa potong pakaianku?"
Aku pura-pura terkejut. "Oh, tidak. Mereka semua telah kusumbangkan!"
"Ah, lihatlah dirimu. Berlagak suci." Aku tertawa.
Kami sampai di parkiran, langsung saja Dad mengambil alih Transformers. Dad tidak begitu suka dengan nama Cadillac CTS hitam tersebut, tapi toh ia tak punya hak untuk menggantinya.
"Jadi," ia memulai pembicaraan saat kami telah melaju santai di jalan raya. "Bagaimana pekerjaanmu?"
Aku tertawa sinis. "Aku tahu kau sangat sibuk beberapa bulan ini, tapi tidak perlu sok menjadi ayah yang baik."
"Maaf?" Dad melongo kaget, aku kembali tergelak. "Ayolah, Teala, tidakkah kau ingin berbagi gosip terbaru denganku? Pacar, mungkin?"
Oh, tidak. Kekasih adalah topik yang cukup sensitif bagi kami berdua. Seharusnya Dad tahu.
"Oh, benarkah? Kita akan membicarakan soal pacar? Bagaimana denganmu? Apakah dari sekian banyak karyawan yang diam-diam menyukaimu, kau akhirnya memilih salah satu dari mereka?"
"Yap." Jawaban singkatnya membungkamku. Aku melongo. Dad tertawa senang melihat reaksiku. "Bingo!"
"Sialan." Gumamku.
"Perhatikan pilihan katamu, miss." Aku membencinya saat Dad memanggilku seperti itu.
"Tapi, ayolah, kau hanya bercanda?" Desakku.
"Ada apa denganmu? Mengapa kau ingin tahu?"
"Uhm—" aku berpura-pura berpikir, "karena kau adalah ayahku? Karena aku adalah putrimu?"
"Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku masih senang sendiri."
"Bagus," responku spontan. "Jawabanku sama persis seperti itu."
Setelah satu jam mengemudi, kami sampai di rumah. Ada cerita panjang di balik mengapa aku pindah dari New York ke Los Angeles untuk memulai hidup mandiri. Semuanya bermula saat Mom meninggal 9 tahun yang lalu.
Pada satu tahun pertama melewati masa-masa suram tersebut, semuanya cukup rumit. Dad menjadi pemurung, aku pun mendapat penurunan nilai pada semua mata pelajaran. Dad tidak seceria dan sehangat biasanya, aku pun tidak terlalu ingin mengajak Dad berbicara. Sampai pada 6 tahun berikutnya aku membuat keputusan untuk pindah ke Los Angeles untuk melanjutkan kuliah. Dan setelah itu Dad lebih sering menghubungiku, kehangatannya perlahan muncul kembali, keretakan kami perlahan melekat kembali. Dan kupikir, kedekatan kami yang sekarang lebih daripada yang dulu.
"Well, aku tahu ini sudah tengah malam. Tapi apakah kau lapar?" Aku bertanya seraya berjalan menuju dapur.
"Tidak. Sebaiknya aku mandi dan tidur." Dad menghampiriku kemudian mengecup keningku, lalu naik ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Holy Sin
Fanfiction[BAHASA INDONESIA] - [ROBERT DOWNEY JR.] • Dalam kedekatan seorang ayah dan putrinya, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Teala, seorang wanita muda menarik, masih menyimpan nasihat kedua orangtuanya untuk tidak memberikan...