#2: Malam Pertama

48 4 4
                                    

Tukang parkir izinmart tiba - tiba menghampiri kami. Tampangnya lumayan seram, bertato, berbadan besar, bersuara berat, preman daerah ini, mungkin.

"Nyari kamar kost, pak?" Tanya dia kepada Pak Sugoy sambil menghisap sebatang rokok kretek [1].
"Iya, nih, Kang. Tapi belum ketemu sama yang pas." Keluh Pak Sugoy.
"Mari ikut saya, adik saya juragan kost disini, ada yang kosong, barangkali."
"Iya."

Mengajak kami ke sebuah rumah yang dekat dengan izinmart. Dibelakang rumah tersebut berjejer kamar kost, lumayan banyak menurutku.

"Nah, kamar yang satu ini kosong, Pak. Coba di cek dulu, siapa tahu cocok."
"Jadi, bagaimana? Cocok?" Tanya Pak Sugoy kepada kami bertiga.

Ukuran kamar itu berkisar antara 5x5 meter, sangat ideal untuk hidup bertiga, disediakan lemari pula.

Serentak kami menjawab "Cocok."
"Biayanya enam ratus ribu kalau bertiga dalam satu kamar."

Tanpa berpikir panjang, kami bertiga langsung mengumpulkan uang, dua ratus ribu per orang.
"Ini Kang, uangnya."
"Malam ini mau langsung di tempatin, kah?"
"Iya, Kang."
"Ya sudah, lebih baik kalian pindahkan barang - barang dari mobil, saya mau sapu dulu kamar ini."
"Iya, Kang."

Saat memindahkan barang, Daffi bergumam "Alhamdulillah, akhirnya kita dapat kamar kost." Ucapnya. Aku dan Fauzi hanya mangangguk karena saking lelahnya mencari kamar kost.

Setelah selesai memindahkan dan membereskan barang, Pak Sugoy pamit pulang karena besok pagi akan ada rapat di sekolah. Beliau berpesan agar kami menjaga diri baik - baik, sebab disini bukanlah wilayah kami dan kami harus sopan terhadap warga sekitar.

***

Aku rasa, malam ini akan begitu singkat, perihal mengingat bahwa malam ini aku jauh dari rumah, jauh dari perbincangan hangat keluarga. Dinginnya kota Bandung kala itu menyentuh angka 17°C, sebelumnya aku tidak pernah mempertimbangkan tentang hawa disini, aku kira sama, ternyata beda. Disini berbeda 8°C dengan Bogor ketika malam, membuat aku harus beradaptasi.

Tapi ada satu hal yang begitu lucu menurutku, bahwa disini tidak ada satu pun warung yang menjual lotion anti nyamuk. Sebab, di hawa yang sedingin ini, nyamuk dewasa pun tidak akan kuat bertahan hidup.

Malam pertamaku di kota Bandung, mungkin agak sedikit gagal untuk ku lalui, sebab ada beberapa perkara kecil yang menghancurkan rencana dan wacana yang sudah ku buat tadi siang. Ya! Malam itu gas belum terpasang di kompor, karena tidak ada satupun dari kami yang bisa memasangnya, ingin meminta bantuan tetangga pun sudah malam, sedikit malu juga, sih. Sedang aku, belum meminum kopi hari ini. Bagiku itu sebuah perkara kecil yang berdampak besar, sebab aku tidak dapat berpikir secara luas jika belum meminum secangkir kopi. Sungguh perkara kecil yang berdampak besar, bukan?

***

"Zi, beli kopi diluar yuk?" Ajakku.
"Ayo."

Memang asing rasanya berjalan di tempat yang tidak pernah kita pijak sebelumnnya, melihat tempat baru, wajah baru, bahkan warung kopi baru. Namun masyarakat Indonesia percaya bahwa Bandung adalah tempat yang begitu indah, warganya begitu ramah, dan tak sedikit pula para perantau mengadu nasib di kota ini.

***

Saat itu pukul 10 malam.

Perbincangan cukup sunyi antara aku dan Fauzi malam itu. Kita berdua sangat lelah karena perjalanan jauh tadi pagi dan kurang tidur.

Tak lama aku berjalan keluar, ada warung kopi yang masih buka, namun jalanan sudah sepi. Entahlah, mungkin warga disini lebih suka berdiam diri dirumah ketika malam. Bahkan motor pun sudah jarang berlalu-lalang, ada beberapa, tapi itu pun yang berpakaian kantor, mungkin orang itu baru pulang kerja, pikirku.

"Kang, kopi hitamnya dua, pakai gula dan teh manis hangat satu. Dibungkus, ya." Ucapku.
"Siap." Jawab tukang kopi itu seraya membuatkan kopi dan teh untukku.

Sambil menunggu, ada sedikit perbincangan kecil antara aku dengan Fauzi. Aku membicarakan perihal 'dia' yang berada di studio siang itu.
"Zi?"
"Hah?"
"Apa kau melihat perempuan berbusana serba merah di studio tadi?"
"Iya, mengapa?"
"Dia sangat mirip mantanku." Ujarku dengan raut muka yang sedikit malu.

Fauzi dengan refleks yang cepat langsung mengarahkan wajahnya padaku, sambil tersenyum membisu.

"Iya, mirip sekali, bahkan aku berpikir bahwa dia itu benar - benar mantanku. Tapi aku belum begitu yakin." Ucapku dengan tersipu.
"Hahaha, jangan terbawa perasaan, ri. Barangkali hanya mirip."
"Iya, andai saja."

"Ini kopinya mas." Tukang kopi itu seketika menyita kedua pasang mata ini untuk melihat kearahnya.
"Jadi berapa, kang?"
"Sembilan ribu, mas."

Aku memberi uang dan langsung bergegas pulang.

***

Sesampainya di kost-an, aku langsung mengambil gelas dan memindahkan kopi dan teh kedalam gelas yang berbeda. Malam itu begitu sunyi, tidak ada sepatah kata pun. Kami bertiga hanya menatap layar ponsel sendiri - sendiri. Hingga akhirnya Fauzi membuka obrolan.

"Coba lihat, ada video game terbaru, ber-genre MOBA. Kita harus coba permainan ini."
"Membosankan." Ucapku.
"Wihh, boleh dicoba, sepertinya." Jawab Daffi dengan antusias.

Dengan segera, mereka berdua mengunduh video game tersebut, sedang aku? Hanya menyampah di salah satu grup sosmed-ku; kebiasaan anak muda ketika bosan, meminum kopi, lalu membakar batang - batang rokok yang aku bawa dari rumah.

***

Sungguh, aku menjadi lalat ketika ocehan di grup sudah sepi dan mereka berdua sedang asik bermain video game itu.

Saat itu jalanan sudah tidak ada seorang pun yang lewat, seperti kota tak berpenghuni, senyap, membuatku kembali mengingat dan bertanya "apakah ia sudah tidur? Atau sedang membaca timeline twitter-nya Justin Bieber? Atau sedang membaca wattpad, barangkali.", "Apa dia suka meminum susu kental manis sebelum tidur juga?" Jika itu benar dia, mungkin saat ini ia akan melakukan hal itu, sebab itulah kebiasaannya sebelum tidur, ia pernah bercerita kepadaku, sewaktu dulu.

***

Pukul 12 malam, ketika aku dan dia masih menyatu, sebelum menuju alam bawah sadar masing - masing, aku sudah tahu jika ia pasti stalking idolanya di twitter sebelum tidur, ya, idolanya adalah Justin Bieber, atau mungkin membaca wattpad, sesekali.
"Kamu belum tidur, sayang?"
"Belum."
"Memangnya sedang apa?"
"Minum susu kental manis."
"Hahaha, seperti anak kecil saja."
"Biar saja, kan aku yang seperti anak kecil, wlee."
"Ya sudah, cepat habiskan, lalu tidur."
"Iya, ini sudah habis, bye, selamat tidur."
"Jangan lupa untuk bermimpi, sebab hidupmu butuh mimpi agar berwarna."
"Selalu saja, setiap hari mengirim quote, tapi, terima kasih."
"Sama - sama."
"Aku tidur dulu ya, night."
"Night too."

***

Sungguh kekanak-kanakan, bukan?
Ya, sekiranya begitulah waktu dulu, sebelum akhirnya memutuskan untuk berpisah dan menjalani hidup masing - masing tanpa perlu memikirkan lagi. Namun na'asnya, akulah yang sampai saat ini masih memikirkannya.

Fauzi menghancurkan lamunanku, hanya karena ingin menyuruhku untuk mengunduh game sialan itu.
"Ri? Kamu yakin tidak mau mengunduh game ini?"
"Persetan dengan game itu, Zi, lebih baik aku tidur saja."
"Huh."

---

[1] Rokok tanpa filter, hanya berisi tembakau dan kertas.

Tumbuh & RapuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang