Hujan belum reda.
Ame masih berdiri didepan sekolah, kedua tangannya terlipat didepan dada memeluk beberapa paket buku, salah satu jarinya mengetuk-ngetuk pelan lengan atas. Kedua matanya terus tertuju pada air yang turun begitu derasnya. Ia menggigit bawah bibir dengan cemas.
Gadis itu baru saja keluar dari ruang perpustakaan yang kedap suara sehingga suara hujan diluar tak mampu terdengar kedalam, begitu Ame keluar dari perpustakaan untuk pulang, ia baru menyadarinya. Hal bodoh lainnya, payung dalam loker kemarin dia bawa pulang. Sekolah sudah sepi, tak ada murid yang dijumpainya dan langit mulai menggelap bersamaan angin berkali-kali menerpa, menerbangkan debu hujan masuk ke teras bangunan. Ame melangkah mundur ke arah loker.
Ia tidak mungkin menerobos hujan begitu saja, karena buku yang baru dipinjamnya akan basah terkena air hujan. Tidak ada pilihan lain selain menunggu hujan reda atau penjaga perpustakaan pulang dan bersedia memberinya tumpangan. Selain itu murid-murid yang lain pasti sudah meninggalkan sekolah sejak tadi.
Gadis itu kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. Menunggu hujan bukanlah hal yang menyenangkan.
Ame tidak menyukai hujan sama sekali. Suara hujan yang berisik, udara yang dingin, dan langit gelap. Entah apa yang menarik dari sebagian orang yang mengatakan hujan itu indah, hujan itu tenang, hujan itu hangat.
Jika ada yang tanya apa yang paling dibencinya di dunia ini, maka Ame akan menjawab hujan.
"Ame?"
Suara seseorang baru saja membuat kepalanya otomatis menoleh. Berharap penjaga perpustakaan yang mengenalnya itu datang, dia mengulas senyum sebentar sebelumnya akhirnya lenyap.
Taka berdiri dengan memegang payung lipat berwarna biru muda. Mereka saling melempar pandangan bingung. Namun Ame yang mengangkat suara lebih dulu.
"Kenapa baru pulang?" Pertanyaan tak penting itu lolos begitu saja dari bibir mugil gadis itu. Ia sebenarnya tak bermaksud ada niatan mengambil bahan obrolan.
"Aku menemui Ishida sensei di ruangan guru, lalu saat pulang ternyata ada barang yang ketinggalan di kelas jadi aku kembali ke kelas tapi aku lupa letak kelasnya hingga aku tersesat dan baru menemukan jalan keluar sekarang." Taka mengatakannya sambil tersenyum menyeriangi, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
"Ternyata sendirian di sekolah yang luas ini sangatlah menyeramkan ya," imbuhnya.
Ame tertawa simpul. "Jadi kau hampir mengelilingi seluruh sekolah ini? Hebat. Aku saja belum pernah melakukannya."
Taka tersenyum kikuk sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Sementara Ame tidak bisa menahan untuk tidak tertawa.
"Apa kau tidak bawa payung? Mau pulang bersama?" tawar Taka, menghilangkan suara tawa Ame mendadak.
Ame mengerjap pelan, memastikan pendengarannya tidak salah karena teredam bunyi hujan. "Apa?"
"Mau pulang bersama?" ulang Taka lebih keras.
Ame terdiam menimang-nimang tawaran Taka. Bukannya menolak tapi memangnya Taka tahu kalau rumah mereka searah. Atau dia akan mengantarkan Ame sampai rumah sementara rumah mereka berlawanan arah. Ah, tidak mungkin seorang asing mau melakukan itu. Kemungkinan lain, dia sengaja, karena melihat kebodohannya tadi pagi sehingga menganggap Ame, seorang gadis gampangan. Tidak, tidak.
Ame menggelengkan kepala tanpa disadari, membuat Taka mengernyit bingung. "Kenapa?"
"Aku akan menunggu hujan reda saja," sambar Ame cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Je t'Aimer
Fanfiction. . Jika dua diantara kita Bertemu dalam kesempatan Seperti apa jalan yang harus dilalui . .