Holy Sin - #4

9.7K 455 10
                                    

Aku berlari menyongsong Dad. Ia bersandar di samping mobil dengan kacamata hitamnya, menatap ponsel dengan serius. Ia tidak begitu sadar bahwa akan ada gadis yang tersenyum lebar layaknya orang idiot sedang berlari ke arahnya.

"Daddy!" Aku memeluknya dengan erat, sangat erat. Bisa kurasakan dada kami saling menekan, tapi bukan itu yang terpenting. Aku melepas pelukan kami, namun tangannya masih erat menekan di punggungku. Senyumnya sedikit membuatku panas.

"Aku tahu ini belum resmi dua bulan, tapi Emerald memastikan bahwa semua karyawan magang di divisiku akan diluluskan!" Aku kembali memeluknya, Dad semakin menekan punggungku lebih dekat, seolah sekarang kami tidak menempel saja.

Kali ini Dad yang melepas pelukan kami, menatap mataku intens, masih tersenyum cerah. Kemudian ia mencium keningku lembut.

"Teala, Teala," bisiknya lembut menyebut namaku, seolah membisikkan mantra. "Aku tidak bisa lebih bangga lagi. Kau hebat."

Aku tersenyum seperti orang bodoh. "Terima kasih! Kau selalu membiarkanku melakukan apa saja. Aku berhasil belajar dari semua itu."

Lalu terdengar dehaman dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Emerald sedang berjalan ke arah kami, terlihat memukau. Sekarang kami sedang berada di daerah Beverly Hills untuk pemotretan majalah edisi bulan ini.

"Mr. Downey," Emerald mengulurkan tangannya. "Emerald Barnes."

"Ah, sang bos," Dad menatapku geli, tanpa kusadari ia belum melepaskanku sepenuhnya. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik, terima kasih. Aku yakin Teala telah dengan semangatnya memberitahumu kabar baik." Emerald menatap ke arah posisi kami, dan aku memerah hingga ingin pingsan saja. Aku berusaha melepaskan diri dari Dad.

"Ya, tentu saja. Terima kasih, Ms. Barnes, atas kepercayaanmu terhadapnya." Dan pada akhirnya setelah waktu yang kupikir cukup lama, Dad membebaskanku.

Emerald tergelak renyah. "Kalian sangat kompak sebagai ayah dan anak. Well, senang bertemu denganmu, Mr. Downey. Sampai jumpa!" Emerald berderap anggun meninggalkan kami.

"Apa-apaan tadi?" Tanyaku frontal, kurasakan pipiku panas membara.

"Tidakkah kau senang kupeluk?" Dad berseru, ekspresinya pura-pura tersakiti.

"Terserah." Aku masuk ke dalam kursi pengemudi, akhirnya mendapat kesempatan mengemudikan Lamborghini Aventador-nya. Dad sangat protektif terhadap mobil-mobilnya.

"Teala! Keluar!" Serunya, tampak tidak sudi masuk ke kursi penumpang.

"Masuklah, Dad, atau kau kutinggal!" Kunyalan mesinnya, dan Dad meloncat masuk ke kursi penumpang sambil cemberut.

21 tahun aku hidup dan beranjak dewasa, aku belum pernah menyentuh beberapa mobil mewah Dad. Ia tahu keahlian mengemudiku, tapi ia tidak pernah memercayaiku. Pada saat Dad memutuskan untuk membeli mobil ini sebagai mobil tetapnya di Los Angeles, aku telah bermimpi untuk mengemudikannya. Tapi, tentu saja, Dad membawa kunci mobil serta semua suratnya, seolah hendak kucuri saja!

Aku menekan pedal gas dalam-dalam, mengetahui bahwa jalanan cukup lengang. Dad berpegangan erat pada dasbor, matanya tidak pernah meninggalkan jalan raya.

"Teala, ingat insidenmu pagi ini!" Serunya histeris.

Meskipun suasana sepi, aku juga berseru sebagai balasan, "Aku yakin ban mobil ini anti-selip. Bukan, begitu?"

"Sialan." Gerutunya. Kudengar suaranya sedikit bergetar.

Aku tertawa gembira, merasa adrenalinku terpacu. Ketika kami memasuki jalanan rumah yang telah kukenal, aku mencoba bermain-main dengan Dad. Aku sengaja berjalan meliuk-liuk tanpa mengurangi kecepatan. Dad mencengkeram lenganku keras, agak menyakitiku.

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang