Di sebuah negara kecil Eropa Utara.
Mendapat hantaman bogem keras di pipinya, Sig terhuyung ke belakang. Pria berambut hitam pendek itu lalu membiarkan pukulan-pukulan lanjutan menghujani tubuh bagian atasnya yang telanjang. Ia tetap bertahan, meski nyeri merajami badannya yang dihiasi bekas-bekas jahitan luka tersebut.
Ia terus mundur sampai punggungnya tersandar di sisi kerangkeng. Bukannya lanjut menyerang, lawannya justru merentangkan tangan, jelas sekali menantang Sig. Tak terpancing, Sig meludahkan darah ke lantai, berjalan memutar untuk mengambil jarak, tanpa memedulikan cengkeraman sakit di pipi kirinya yang lebam.
Lawan Sig nyengir, berpose bak binaragawan, memamerkan otot-otot yang menghiasi tubuh besarnya. Berbanding terbalik dengan Sig yang langsing, bahkan cenderung kerempeng meski perut dan tangannya juga menonjolkan otot.
Para penonton yang mengelilingi arena melemparkan kata-kata kasar kepada sang lawan. Tak terima, pria berkulit putih dan berambut coklat jabrik itu balas memaki.
Sadar Sig telah mendekatinya, sang lawan memasang kuda-kuda kembali. Sig pun melompat ketika sang lawan kembali melancarkan bogemnya. Kemudian, dengan begitu telak, ia menyarangkan pukulan ke hidung lawannya itu.
Sorak-sorai bertambah ramai seiring dengan tubuh sang lawan yang rubuh. Sig berdiri diam, memandangi aliran darah yang deras mengalir dari hidung sang lawan. Sekali lagi, setelah tiga tahun menjalani pertarungan demi pertarungan di arena itu, ia mendapat lawan yang bodoh. Gerakan menyolok seperti tadi seharusnya bisa dihindari oleh petarung berpengalaman.
"Pemenangnya, masih tak terkalahkan, DK!"
Sambil melangkah menuju pintu kerangkeng, Sig mendengus. Nama panggungnya itu seakan menyulut api di liang telinganya. DK berasal dari Dark King. Sang pemilik arena pertarungan bawah tanah inilah yang memilih nama itu, padahal Sig menganggapnya norak.
Turun dari kerangkeng, Sig terus melangkah, sama sekali tak memedulikan eluan dari orang-orang. Sesekali ia harus mendorong beberapa yang menghalangi jalan. Bukannya tak suka. Ia akan menyambut semua itu kalau pertarungan tadi berjalan dengan benar. Kenyataannya tidak.
Begitu keluar dari arena, Sig menyusuri sebuah lorong, menaiki tangga, lantas mengetuk pintu berwarna putih. Beberapa detik menunggu, pintu itu dibuka oleh seorang pria. Tanpa mau repot-repot menyapa, Sig memasuki ruangan berhias mebel-mebel mewah, menghampiri seorang pria berambut merah dengan bagian belakang yang sedikit dikucir. Duduk di sofa yang berhadapan dengan panel kaca besar, pria kulit putih bertubuh jangkung itu mengawasi manusia-manusia yang mulai meninggalkan arena.
"Seperti biasa, Tuan Frederik," ucap Sig, harus memaksa kata 'tuan' keluar dari mulutnya.
Seorang pria tegap berotot, berambut hitam cepak, serta berbibir tebal menghadang Sig.
"Mana sopan santunmu, kawan?" tanyanya dingin.
Sig memajang senyumnya. "Tubuhmu menghalangi jalanku, kawan."
"Sudahlah Charlie, khusus untuk dia tidak apa-apa," ucap pria bernama Frederik itu, meraba-raba tubuh dua wanita berpakaian minim yang mengapitnya. "Maafkan aku DK, dia itu anak baru."
Sig mengepalkan kedua tangannya. Percuma, sekeras apa pun dirinya melawan, Frederik tetap akan memanggilnya seperti itu.
"Baik, Tuan." Pria yang dipanggil Charlie pun bergeser, tapi tatapannya tetap terhujam tajam kepada Sig.
"Bagaimana kalau kita minum dulu?" Frederik bangkit, mengancingkan jas putihnya sambil berbalik, lantas merentangkan senyum di antara kerut-kerut samar wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Moon Illusion [END]
LobisomemSEKUEL MOON GODDESS' CHOSEN ONE Bulan purnama masih indah di mata Sig, meski benda langit itu hanyalah simbol dari angan-angannya. Namun, kehidupan Sig tak hanya melulu tentang romantisme dirinya dan rembulan. Di dadanya masih ada ambisi. Pertanyaan...