Chapter 1 - Rindu Bunda

17.6K 702 6
                                    

Bandung adalah kota kelahiranku yang sangat aku cintai, banyak sekali kenangan yang Allah berikan di kota yang dingin dan sejuk ini. Selain itu banyak sekali wisata alam yang indah di Bandung, maka dari itu kota Bandung sering kali dikunjungi oleh para wisata yang kebanyakan berplat mobil B. Karena itulah jalan menuju Bandng terjadi kemacetan.

Oh iya, tepat hari ini tanggal 1 di bulan Juli 18 tahun lalu, almarhum Bundaku melahirkanku ke dunia yang banyak sekali kejahatan. Walaupun aku belum tahu wajah Bunda yang melahirkanku saat itu, tetapi aku bersyukur karena beliau sudah berjuang untuk membuatku bisa menghirup udara segar ini.

Terkadang akupun sering kali berpikiran, mengapa Bunda tidak mengajakku kembali lagi kepada Allah? Aku lebih senang berada di dekat Allah, di dunia ini banyak sekali manusia-manusia yang jahat. Apakah Bunda rindu pada anakmu yang baru saja lulus dari masa putih abu-abu? Bunda, aku Zahra nama yang Ayah berikan sebelum Ayah menyusulmu sudah besar. Aku sangat rindu padamu, Bunda.

Aku melihat ke arah langit yang berwarna putih itu, yaAllah aku rindu sekali kepada Bunda. Sampaikan salam dan doaku untuknya. Lalu aku membersihkan daun-daun yang berserakan di atas gundukan merah tempat Bunda tinggal. Aku membacakan do'a untuk Bunda setelah membersihkannya.

"Assalamualaikum, Bunda. Aku sangat merindukanmu, Bun. Bunda baik-baik yah, di sana."Ucapku seraya mengelus batu nisan yang bernamakan Sakila Andena, wafat pada 1 Juli 2000.

Namaku adalah Azahra Putri Prawira, yang tinggal bersama Nenek dan Kakek yang sangat hebat walaupun usianya sudah mulai senja. Aku memanggilnya dengan sebutan Ambu dan Abah.

Ambuku, Nenek dari Bunda yang pernah bercerita kepadaku tentang Bunda saat bertemu dengan Ayah. Bunda, bukan wanita yang berasal dari golongan orang yang mampu. Berbeda dengan Ayah, yang memiliki keluarga yang sangat kaya raya. Ayah jatuh cinta kepada Bunda.

Saat itu, Bunda bekerja di restoran yang mahal di kawasan Bandung sebagai pelayan. Ayah sedang putus cinta dan pergi ke restoran yang Bunda bekerja. Aya memanggil pelayan yang mencatat pesanan, pelayan itu Bunda. Bunda memang tidak cantik, tetapi Bunda memiliki paras yang membuat hati seorang pria jatuh hati kepadanya. Sejak saat itu, Ayah mulai menyukai Bunda, dan sering kali pergi ke restoran itu sekedar basa-basi kepada Bunda. Bunda awalnya biasa aja karena sikap Ayah yang kelihatan memang konyol selama seminggu itu, tetapi teman Bunda memberi tahu bahwa ada yang ingin mendekatinya. Bunda memang termasuk orangnya kurang peka, lagian Bunda belum pernah merasakan cinta sebelumnya terhadap laki-laki karena Ambu selalu melarangnya untuk cinta yang tidak halal.

Ayah memiliki sikap berani untuk melanjutkan suatu hubungan, Ayah meminta nomor telfon Bunda. Tetapi Bunda tidak memberikannya, karena memang Bunda tidak mempunyai HP. Ayah tidak menyerah, ia meminta kepada temannya. Dan teman Bunda berterus terang bahwa Bunda tidak mempunyai HP.

Keesokan harinya, Bunda mendapatkan kiriman surat yang di sana tertulis.

Bandung, 21 Februari 1998.

Assalamualaikum, wr.wb.

Hai Sakila, aku seorang laki-laki yang bernama Galih Prawira ingin berteman denganmu.

Sekian,

Wassalamualaikum, wr.wb.

Isi surat yang Ayah berikan untuk Bunda memang awalnya mengajak berteman, lalu Bunda menyetujuinya. Tetapi beberapa mingu setelah itu, Ayah memintanya untuk menjadi kekasihnya. Bunda menjawabnya tidak, karena pacaran itu haram bagi agama kita. Lalu Ayah mengajaknya menikah, dan Bunda setuju dengan syarat Ayah harus bertemu keluarga Bunda.

Sejak Bunda meminta syarat itu kepada Ayah, Ayah tidak kunjung datang ke rumahnya. Bunda yakin jika Ayah hanya bermain-main saja. Walaupun sebenarnya dalam hati yang dalam Bunda ingin Ayah datang ke rumahnya.

Beberapa bulan ke depan Ayah datang ke rumah Bunda, dan ia meminta maaf karena tidak mengabarinya bahwa ia harus melaksanakan tugasnya sebgai tentara. Dan Bunda baru tahu pekerjaan Ayah yang selalu Ayah tutupi itu. Bunda memaafkannya, dan Ayah melamar Bunda tanpa keluarga yang Ayah bawa. Awalnya Abah dan Ambu tidak merestuinya. Tetapi melihat wajah Bunda yang bahagia, mereka akhirnya merestuinya.

Setelah lamaran Ayah diterima oleh pihak Bunda, Bunda diajak Ayah untuk ke Jakarta bertemu orangtuanya di sana. Ternyata Nenek dan Kakek tidak merestui mereka karena status sosial yang berbeda. Bunda merasakan terkejut dan sakit hati atas penolakannya. Tetapi Ayah tidak kunjung menyerah, Ayah mengorbankan cinta mereka hingga akhirnya mereka setuju dan menikah.

Pernikahannya dilaksanakan 2 minggu setelah pulang dari Jakarta yang dihadiri hanya keluarga dekat, dan orang yang terdekat. Keluarga Bunda memang sedkit karena Bunda anak semata wayangnya Ambu. Walaupun sudah menikah, Nenek masih saja bersikap judes kepada Bunda. Bunda tidak pernah bercerita kepada Ayah. Memang keluarga Ayah semua dari keluarga besar yang bernama Prawira dan pekerjannya itu tentara.

Singkat cerita beberapa bulan kemudian Bunda positif hamil, Ayah belum mengetahuinya karena Ayah sedang bertugas di pulau jawa. Bunda memberi tahunya sejak usia kehamilannya sudah mulai membesar. Selama 8 bulan Ayah tidak pernah di sisi Bunda saat hamil hingga aku dilahirkannya ke dunia ini melalui proses premature. Sebenarnya Dokter menyarankan agar proses persalinan sesar karena sangat bahaya untuk Bunda yang memiliki penyakit anemia tetapi Bunda ingin melahirkan secara normal.

Ambu sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi kepada Bunda, karena Bunda ingin melahirkan secara normal. Setelah itu, terjadilah proses persalinan secara normal. Sampai pada akhirnya Allah mengambil nyawa Bunda, dan aku terlahir ke dunia ini. Ambu bilang padaku, bahwa Bunda bahagia memiliki anak sepertiku.

Keadaan Ayah yang tahu bahwa Bunda telah tiada, segera kembali ke Bandung dan beliau sangat berduka atas kepergiannya. Keluarga pihak Ayah tidak pernah mendatangi ke Bandung setelah acara pernikahan itu. Selang beberapa bulan kemudian, Ayah menyusul Bunda untuk bertemu Allah di surganya karena tertembak oleh tentara negara lain saat bertugas.

Seperti itulah kisah cinta Ayah dan Bunda yang meninggalkanku di sini bersama Ambu dan Abah yang merawat, dan membesarkanku sejak kecil. Walaupun orangtuaku sudah tidak ada aku tetap bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadaku. Memang Abah hanya seorang petani dan Ambu seorang tukang cuci baju. Tetapi mereka sanggup menyekolahkanku hingga aku lulus SMA. Allah juga memberikanku kemampuan untuk ilmu yang aku dapati, aku bisa mendapatkan beasiswa karena prestasiku bukan karena dari tidak mampu. Bukannya aku sombong, ini ambil saja pelajaran dari ceritaku ini.

Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah dari tanah, kita jangan pernah menyombongkan diri karena apa yang kita punya. Semua itu hanyalah pemberian Allah yang sementara, bagaimana jika Allah mengambilnya lagi? Maka dari itu kita harus senantiasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan selama ini.

"Zahra, sini, Nak."Panggil Ambuku menyadarkan lamunanku yang sudah berada di kamar. Ternyata sepanjang aku bercerita tadi selepas pulang berziarah keorangtuaku, aku sudah tiba di rumah yang kecil ini.

Aku berjalan mengikuti perintah Ambu, Ambu sudah duduk di kursi yang dibeli Ayah waktu dulu. Beliau masih saja cantik walaupun wajahnya sudah mulai keriput, rambutnya yang selalu ditutupi oleh kerudung sudah berubah berwarna putih, matanya yang sudah mulai membuyar melihat orang.

"Selamat ulangtahun, Nak. Semoga semakin dewasa, sholehah, menjadi orang yang sukses di masa depan yah, Nak."Ucap Ambu mengelus kepalaku yang tertutup oleh kerudung berwarna merah maroon itu.

"Terimakasih, Ambu atas doanya."Aku memeluk tubuh Ambu yang ramping itu, aku senang Ambu selalu sehat dalam kondisi apapun. Terimakasih, yaAllah sehatkanlah selalu beliau.

Dalam Ruang Kalbu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang