Wanita-Wanita (Part 3)

10 0 0
                                    



Parfait restauran. Tentu saja aku datang, tapi setelah aku menemui seseorang. Tahu siapa? Salah satu pengisi acara Konser Gempita TV8 yang diadakan di Semarang. Ia penyanyi solo yang lagi happening di Indonesia. Ciri-cirinya berambut cepak, suka memakai topi setiap performnya. Oh iya, ia juga jago main gitar. Orangnya manis dan suka bercanda. Sudah bisa menebaknya? Ya, betul! Marcia Latinka .

Ia cerita kalau sudah jadi penggemarku sejak aku masih jadi model dulu. Kekagumannya kian menjadi setelah aku lolos audisi pencarian bakat menyanyi, Rising Star. Dan Marcia tersipu saat kutanya apa masih menggemariku setelah jadi artis seperti sekarang.

"Masih," akunya terus terang. Ohoho! Aku geli mendengarnya.

Obrolan berlangsung kian mengasyikkan begitu kami tahu kami adalah sama-sama suka mendengar musik-nya Yiruma saat sendirian. Kami juga punya ritual aneh sebelum perform, yaitu bolak-balik ke toilet. Hahhaha! Obrolan diakhiri dengan janji ketemu lagi kapan-kapan, yang diucapkan Marcia penuh pengharapan. Aku tersenyum, tanpa memberi jawaban. Lalu pergi tanpa menengok ke belakang.

Dan Amora yang mengundangku datang ke Parfait restoran kutembukan tersembunyi di balik lebatnya daun-daun anthurium. Ia mengenakan jaket kulit hitam, topi hitam, t-shirt pas badan dan jeans. Raut wajahnya semendung Jakarta malam itu. Tak perlu jenius untuk bisa membaca kecamuk hatinya. Sudah jelas ia marah padaku. Kentara dari caranya melirikku.

"Sudah lama?" Aku membuka resleting jaket varsity-ku dan duduk dihadapannya. Tidak melepas topi sebab tak ingin dikenali siapapun juga.

Amora membisu. Mulutnya terkatup rapat dan tak menatapku. Hanya tangannya bergerak-gerak mengaduk minumannya. Nampak terlalu bertenaga untuk ukuran mengaduk minuman saja. Aku mendiamkannya. Enggan memulai bicara. Tahu saja, jika aku mulai satu kata maka akan menyulut ledakan marahnya.

Amora menggoyang-goyangkan kakinya. Lebih kencang dari sebelumnya. Aku mengetahuinya, tapi pura-pura tak tahu saja. Aku malah memanggil seorang pramusaji Kupesan ice lemon tea dan iga bakar bumbu madu.

"Kau mau pesan apa?"

"Sudah," sahutnya pendek dan kaku.

Sepeninggal pramusaji itu kami tak juga bicara. Amora hanya menatapku dengan mata kucingnya. Penuh rudal amarah yang siap ditembakkan seketika.

"Kau selalu begitu!" desisnya berbisa. Bibir Perempuan yang berusia tiga tahun lebih tua dariku itu melekuk sinis.

"Oh, please, Amora!" Aku mengedikkan bahu tak sabar.

"Please, apanya? Bisa nggak sih lu ...." Suara Amora meninggi.

"Psst ...." Aku memajang telunjuk di ujung bibirku. Mataku menyapu seluruh ruang, takut kalau-kalau ada orang yang dengar dan memperhatikan.

" ... bisa nggak sih lu ngomong dulu sebelum pergi ke Semarang?!" lanjutnya seraya mencondongkan tubuhnya padaku. Suaranya terdengar rendah namun tajam.

"Penting buat lu?"

"Jelas dong! Lu kan pacar gue! Masa gue nggak dikasih tahu hal semacam itu?" Nada suara Amora menunjukkan rasa sakit hati.

Pacarmu? Kurasa aku tak pernah mengatakannya. Kau sendiri bukan yang mengatakannya.

"Jadi apa mau lu apa?"

"Sederhana? Beri tahu gue kalo lo kemana-mana?"

"Kalau nggak?"

"Lo, gue ... end."

Aku memandangnya. Kurasa ia lupa bila ingin dekat denganku rule-nya hanya satu. Ikuti saja aku.

"Baiklah." Aku tersenyum padanya.

Amora terperanjat mendengarnya. "Lho, kok gitu sih Van?" Ia menarik pergelangan tanganku saat aku hendak berdiri.

Aku tak menjawab, hanya mengangguk santun sebelum melenggang pergi dari hadapan Amora. Amora tergugu karenanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Yang telah terlontar tak bisa ditelan lagi. So, that's it!

***

Selasa 12 Februari. Dingin dan berhujan. Di dalam ruangan sebuah gedung tua, aku dan anggota High End sedang menyelesaikan pembuatan video klip kami yang kelima. Modelnya seorang gadis muda, berusia 17 tahun. Blasteran Rusia Indonesia. Anya namanya.

Anya jenis gadis yang akan membuatnya suka sejak pertama jumpa. Ia ramah dan hangat pada siapa saja. Sekejap jumpa kami sudah akrab padanya. Tak perlu susah-susah membangun chemistry dengannya. Dan yang paling menyenangkan ia seorang yang cerdas. Bisa mengerti apapun yang diarahkan sutradara. Padahal ia mengaku baru dua kali ia menjad model video klip. Pertama dengan band papan atas, Meru, dan kedua dengan High End.

Dan yang terpenting dari semua adalah caranya menatapku. Sebagai pria berpengalaman aku tahu ketika seorang perempuan bicara dengan beberapa orang, sementara kaki dan tubuhnya menghadap ke satu sudut, yaitu aku, pastilah ia sedang tertarik. Tak hanya itu, caranya mengusap rambut diarah dimana aku berapa itu juga menunjukkan hal lainnya.

O, o! Aku ingin tahu kemana arahnya setelah ini.

"Cut!" Dikken, sutradara video klip kelahiran Afrika Selatan itu memberi aba-aba syuting telah selesai tepat jam 24.00.

Semua orang bertepuk tangan. Tak terkecuali Kak Pierre, aku, Jazz, dan Evan. Mbak Devi, wakil Mr. Lee manajer kami, segera mengisyaratkan kami untuk berganti pakaian dan pulang. Saat beranjak ke ruang ganti itulah, tak sengaja aku bersenggolan dengan Anya. Tubuh langsing gadis itu oleng saat berat tubuhku mengenainya. Sigap tanganku memegang pinggannya. Malu-malu ia mengucap terima kasih atas usahaku tersebut.

"Sama-sama." Aku menepuk bahunya. Ia melirik dengan pipi bersemu merah muda.

"Kak," cegahnya saat aku hendak menyusul Kak Pierre, Jazz, dan Al.

"Ya?" Aku memalingkan tubuh ke arahnya.

"Bolehkah aku tahu WhatsApp kakak?" Binar matanya penuh harap.

Aku menatapnya beberapa saat, membuatnya tertunduk menekuri petak-petak keramik motif lama dibawah kakinya, sebelum ia mendongak saat aku mengatakan apa yang dimintanya.

Segera setelah itu aku berbalik dan tidak menolehinya. Meski aku dengar ia mengucapkan terima kasihnya. Sejam sesaat setelah aku sampai di dorm, Kiara mengirimkan pesan via WhatsApp. Isinya luar biasa

Selamat pagi, cinta.

Hahaha! Aku tergelak membacanya. Ini baru awalnya. Hari-hari berikutnya aku rasa tak hanya itu yang akan dikatakannya. Anya, Anya ... ibarat parfum wangimu terlalu kentara, seharusnya lamat-lamat saja agar kau tak mudah dibaca. Dengan begitu aku akan tertarik menelusuri misterinya. Lalu menemukan jawabannya di sebuah kotak rahasia. Seandainya saja ia punya strategi laik untuk membuatku terpesona. Sayangnya tidak ada.

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash



KEEN, ONE OF A KINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang