[b]

514 101 5
                                    

Ternyata di luar hujan. Keisha baru sadar ketika kakinya melangkah keluar perpustakaan.

Dan fakta lain yang dia dapatkan, sekolah sudah teramat sepi.

Keisha melirik arloji biru langitnya. Dia mendesah pelan ketika mendapati waktu sudah berpijak pada angka lima kurang tujuh menit, sembari berjalan pelan persis di belakang Rehan yang sama sekali tidak menolehkan kepalanya barang satu kali.

Cowok ini.

Keisha tersenyum tipis. Jadi teringat kata teman-temannya tentang Rehan.

Si ambis yang senang menyendiri, juga jangan lupakan label galak yang seakan sudah tidak bisa dipisahkan dari sosok Rehan Ardipta.

Walau sebenarnya, Keisha tidak setuju. Karena menurut Keisha, Rehan sama sekali tidak galak. Dia hanya cuek, dan tidak begitu peduli pada hal-hal kecil.

Mungkin, karena Rehan mempunyai tatapan mata yang sadis juga suara yang berat, membuat ucapan biasa pun bisa terkesan menyeramkan.

Tapi, Keisha tidak peduli. Mau Rehan cuek, galak, atau dingin sekalipun, rasanya Keisha tetap akan suka.

Dan kalau Keisha ditanya kenapa Keisha bisa menyukai cowok--yang hampir satu sekolah pun segan padanya--seperti Rehan, jawabannya adalah tidak tahu.

Iya, sesimpel itu.

Karena nyatanya, Keisha saja tidak tahu kenapa dia bisa suka dengan Rehan.

Yang Keisha tahu, sekarang dirinya justru merasa melayang, hanya karena Rehan berbalik menatapnya seraya mengangguk singkat--ketika selesai memberikan kunci perpustakaan pada Bu Lilis.

"Duluan." katanya. Tanpa tersenyum sedikit pun.

Aku tersenyum, "Iya, Kak. Maaf soal yang tadi, ya." kata Keisha berbasa-basi, terkesan sok kenal, padahal hari ini adalah pertama kalinya Keisha berbincang dengan Rehan.

Bodo amat sama gengsi.

Rehan mengangguk lagi, "Santai." Lalu setelahnya, dia sungguhan beranjak pergi.

Sebenarnya, Keisha sempat membayangkan jika Rehan akan mengantarkannya pulang. Tapi, Keisha segera sadar, kalau Rehan bukan cowok yang datang dari dunia drama.

[ ]

anonymous notes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang