"Kamu melihatnya?" tangan Ayahnya menahan langkahnya. Ia menoleh dan mengangguk dengan yakin.
"Mengapa kamu tidak menghampirinya kalau begitu?" Ayahnya berbisik lagi dan masih bersikeras menarik siku Joseph.
Joseph akhirnya diam dan melepaskan tarikan tangan Ayahnya, "Aku tidak bisa melakukannya karena aku akan merasa sangat sakit hati melihatnya."
"Jadi, kau akan pergi begitu saja?" Ayahnya mengerutkan keningnya dengan kesal.
"Daddy yang menyuruhku pergi meninggalkannya. Jika perkataan itu tidak pernah menusuk otakku, aku juga takkan terpikir untuk melakukannya," Joseph menanggapinya dengan begitu ketus.
"Joseph, kasus ini berbeda. Ini saat terakhirmu bertemu dengannya. Kau tahu jarak London dari sini?" Ayahnya bersikeras memelankan suaranya agar tidak semua orang bisa mendengarnya.
"Tujuh ribu dua ratus mil dari sini. Semoga sudah cukup jauh untuk memisahkan kami," Joseph menjawab dengan ketus.
"Mengapa kalian tidak membuat perpisahan yang menyenangkan dan hangat? Mengapa seolah kalian berdua sedang dalam masalah besar?" tanya Ayahnya lagi.
"Jika aku berpisah dengannya secara baik-baik, ia akan merasa sedih untuk waktu yang lama. Dengan cara ini, wanita manja itu hanya akan marah padaku dan mengumpat. Jika aku sama-sama harus pergi meninggalkannya, aku memilih membuatnya marah daripada bersedih untuk pria sepertiku," Joseph mengatakannya dan pandangannya hanya menatap kosong lantai bandara itu. "Karena pria sepertiku memang pantas dibenci olehnya. Tidak ada yang salah darinya."
"Kamu terlalu mencintainya atau bagaimana?" tanya Ayahnya dengan ragu. Ia belum pernah melihat anaknya begitu bersungguh-sungguh.
Joseph tidak menjawab. Ia hanya terdiam dan membuang pandangannya.
"Mengapa kamu pergi terburu-buru? Jika Anaz sudah mengetahui semuanya, kamu tidak perlu meninggalkannya secepat ini," Ayahnya terus mendesak pria itu sampai wanita manja itu sudah benar-benar menghilang dari pandangan keduanya.
"Aku sudah meninggalkan London terlalu lama," Joseph menjawabnya.
"Maksudmu? Mengapa memangnya jika kamu meninggalkan London sampai seratus tahun?" tanya Ayahnya dengan panik.
Joseph tersenyum samar, "Ada kehidupanku yang belum terurus di London dan aku harus bergegas mengurusnya."
Ayahnya hanya mengangguk seraya menampakkan wajah bingungnya.
"Dad, sering-seringlah mengunjungi Sophie. Wanita itu yang merawatku dua tahun terakhir," Joseph tersenyum pada Ayahnya.
Wajah Ayahnya terlihat merah padam. Ia hanya mengangguk dengan canggung. Karena Joseph selalu benci ibunya sendiri. Untuk pertama kalinya, Joseph benar-benar tulus mengatakannya.
Joseph segera menarik kopernya meninggalkan Ayahnya sendirian. Dalam benak Bernard, Ayahnya, ia bertekad mencari Anaz dan memberitahu semuanya. Ia melihat kepergian anaknya dan sedikit pisau menyayat hatinya. Perkataan Joseph mirip dengan perasaannya saat dulu bercerai.
Ia dulu berpikir lebih baik Sophie membencinya daripada merindukannya. Sehingga, ia berpisah dengan kasar dan tidak menyenangkan agar wanita itu berhenti mencintainya. Saat mendengar ucapan Joseph, ia berusaha sekuat tenaga memasang wajah datar.
Itulah alasannya Bernard mencari Anaz saat di bandara. Karena ia tidak ingin wanita itu membenci Joseph. Ia membiarkan Anaz mengetahui kebenaran yang memang sudah seharusnya ia ketahui.
...
Joseph berjalan memasuki pesawat dan duduk di bangku yang sudah ia pesan. Ia selalu memesan bangku di samping jendela. Ia terduduk dalam kesunyian saat semua orang di sekitarnya pergi bersama-sama, ia pergi sendirian. Ia terduduk di samping orang asing yang juga pergi dengan pasangannya.
Joseph memandang keluar jendela. Wajahnya tersenyum melihat negara ini dari ketinggian. Rangkaian pulau yang dikelilingi lautan biru. Ia melihatnya dengan saksama. Seolah seluruh pemandangan itu miliknya saat ini.
Ia mulai bergumam dalam hatinya sendiri,
"Aku mengatakan pada diriku untuk melupakan Anaz. Berhenti memikirkannya dan hidup dengan bahagia di sana. Karena aku pun yakin Anaz akan hidup bahagia di sini, dengan kehidupannya yang sempurna."
Kemudian, Joseph mengeluarkan kalung emas tipis dengan liontin bintang. Ia memandanginya. Ia menggenggam kalung itu kuat-kuat.
"Tetapi aku berharap, suatu hari nanti, kita bisa kembali bersama. Mengingat semua hal bodoh yang terjadi pada masa SMA," Joseph tersenyum dengan dirinya sendiri.
"Kita bisa kembali duduk bersama menatap bintang seperti hari-hari kemarin. Kita bisa berkencan sungguhan dan menyatakan perasaan satu sama lain dan berakhir bahagia."
...
Semalam sebelum kepergiannya...
Joseph menemui Diondy di bar kesukaannya. Diondy dengan malas menghampirinya dan duduk di sampingnya. Diondy dengan pakaian santai cukup terkejut menemui Joseph yang berpakaian rapi.
Diondy tidak mengetahui kebenarannya. Ia tetap menganggap pria itu adalah Louis Antonio. Dan Joseph pun tidak berniat memberitahunya sama sekali.
"Ada apa?" tanyanya dengan ketus.
"Tenanglah. Aku kemari bukan untuk menghajarmu," Joseph menyodorkan satu gelas bir di hadapannya.
"Kalau begitu, ada apa?" Diondy mengulang pertanyaannya dengan nada yang sedikit lebih lembut. Walaupun hanya sedikit.
"Aku akan segera pergi. Entah untuk kapan, aku akan meninggalkan Anaz begitu saja," Joseph mengutarakan semuanya tanpa diminta. "Mengenai hal itu, bisakah kamu bersama Anaz selama aku pergi?"
"Apa maksudmu? Jangan mengatakan hal yang konyol," Diondy tertawa menghina dan meneguk bir yang ada di hadapannya.
"Tolong jemput Anaz di hari terakhir ujiannya, ajak ia ke tempat yang membahagiakan, buatnya aman dan bahagia selama aku pergi," Joseph mengatakannya dengan senyuman yang memudar.
Diondy menggaruk pelipisnya dan menatap Joseph dengan alis terangkat, "Sejak kapan kamu begitu peduli dengannya? Maksudku, ia menderita karena dirimu."
"Karena itu, aku akan pergi dan kamu harus menjaganya," Joseph meninggikan nada bicaranya.
"Aku memang selalu melakukannya. Kamu tidak perlu memberitahu hal konyol seperti itu. Kamu pikir aku begitu bodoh dan kamu begitu jenius?" Diondy segera membantahnya dengan kalimat yang panjang.
Joseph segera berdiri dan mengambil jaketnya. Ia menatap Diondy dengan tatapan kesal namun sudah berjanji takkan menonjoknya hari ini.
"Aku hanya meminta tolong padamu. Itu tidak sulit," Joseph mengakhiri pertemuan mereka dengan nada ketus dan segera pergi meninggalkan Diondy.
...
Hal itu membuat Joseph merasa lebih lega sekarang.
"Aku sudah menitipkan Anaz pada tangan pria yang juga mencintainya. Entah mengapa, Diondy memang pasti akan menepati janjinya," Joseph kembali bergumam dalam benaknya.
Seolah kepalanya tidak pernah menengok dari kaca jendela pesawat. Semuanya perlahan mulai tidak terlihat. Sekarang, pesawatnya benar-benar berada di antara awan-awan yang hanya berwarna putih.
"Meskipun tidak ada yang melukaimu seperti aku, tidak ada juga yang mencintaimu seperti aku. Semoga kamu lebih bahagia. Selamat tinggal, Anastacia Charlotte."
"Dan aku berharap, jika aku kembali suatu hari nanti, kamu masih mencintaimu seperti hari kemarin. Karena mungkin hari ini, kamu sudah tidak mencintaiku, karena berlari pergi meninggalkanmu."
Joseph mengakhiri obrolan dengan batinnya. Ia memasukkan kembali kalung itu ke dalam saku celana denimnya. Kemudian, menutup jendela pesawat. Kemudian terduduk dengan damai di kursinya.
Ini bukan kehidupan yang dia inginkan. Satu persen pun tidak. Tetapi, ini kehidupan yang harus ia hadapi. Andaikan saja Anaz mampu membaca pikirannya, ia selalu ingin bertekuk lutut meminta maaf pada wanita tak bersalah itu.
"Ketika semua kebohongan berakhir, hanya tersisa serpihan kebenaran. Mungkinkah, kebenaran itu yang akan membawa sedikit harapan atau malah membakar puing-puing harapan itu sendiri?" –PAINFUL LIES
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
PAINFUL LIES (COMPLETE)
Romance#1 Kisah SMA "Do you love me?" always be the same question "No. I don't." always be the same lie ... Kisah ini menceritakan seorang gadis yang tujuh belas tahun hidupnya dihabiskan dalam rumah. Tahun ini, tahun pertama gadis itu bersekolah di seko...