Prolog

63 41 42
                                    

"Rasya, cepat sarapan! Ini hari pertamamu sekolah, jangan sampai kamu telat!" Seruan seorang wanita berusia sekitar 40 tahun terdengar bergema di sebuah rumah yang tidak bisa dibilang sederhana.

"Iya bun, sebentar." Gadis yang bernama Rasya menyahut dari kamarnya sambil berkaca, mengecek penampilan dirinya sebelum pergi ke sekolah. Setelah merasa puas dengan penampilannya pagi ini, ia turun dari kamarnya menuju ruang makan.

"Hai, kak Ness" sapa Rasya ketika mendapati kakaknya, Vanessa, sudah duduk di kursi makan. Vanessa 3 tahun lebih tua darinya, tetapi mereka dapat dibilang sangat dekat, walaupun mereka tidak dilahirkan dari orang tua yang sama.

"Hai" balas Vanessa singkat sambil memainkan handphonenya, mengetik balasan pesan kepada teman-temannya. Rasya menatap ke arah tas ranselnya di sofa ruang tamu yang sudah ia siapkan sejak tadi malam. Ia menelan ludah perlahan. Khawatir, itulah yang sedang Rasya rasakan. ini adalah hari pertama ia masuk jenjang SMA, sekaligus hari pertama dalam hidupnya ia pergi ke sekolah umum. Senang, tentu saja. Akhirnya ia bisa merasakan kehidupan yang normal, menjadi remaja yang normal seperti remaja lain pada umumnya, tetapi tetap saja, rasa khawatir masih menyelimutinya.

"Mikirin apaan, sih? Ngelamun mulu. Awas kesambet." ucap Vanessa tiba-tiba, membuat lamunan Rasya buyar.

"Apaan sih, nggak kok" elaknya

"Terserah deh," Vanessa mengalah. "Makan tuh rotinya keburu dingin"

"Iya iya" ucap Rasya sambil mengambil selembar roti lalu menggigitnya.

"Bun, rotinya udah abis. Rasya berangkat ya. Tinggal 15 menit lagi nih" ucapnya sambil melirik jam tangan yang dikenakannya

"Iya, itu Pak Dedi udah nunggu di depan. Hati-hati ya Sya, jangan kecapekan, nanti kamu sakit. Jangan panas-panasan, jangan pulang sore-sore, jangan--"

"Iya bun tenang aja" potong Rasya cepat sambil menyambar tasnya. Jika tidak begitu, ocehan bundanya tidak akan berakhir sampai nanti malam.

Tentu saja Rasya sangat bersyukur diberi perhatian dan disayang sebesar itu oleh orang tuanya. Jangankan diberi perhatian, dibiarkan tinggal di rumah itu saja ia sudah sangat bersyukur. Tetapi ia sangat ingin diperlakukan layaknya remaja yang lain, remaja biasa, yang tidak dibanjiri pesan "Jangan..., jangan..." tiap kali ia menginjakkan kaki ke luar rumah, walaupun itu hanya sekedar untuk pergi ke minimarket belakang rumah.

Setidaknya di sekolah ia bisa tahu bagaimana rasanya menjadi remaja biasa.

***

A/N

Ini baru prolog, jadi emang pendek.

btw, aku update buku ini diusahakan reguler, kalo bisa 2 atau 3 hari sekali, jadi jangan jadi silent reader yaa, tinggalkan jejak berupa vote dan commenttt

Comment juga ya, menurut kalian prolog ini gimana? hehe

makasiyy

Double RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang