Bu Kartika melihat pemandangan yang sangat tidak disukainya.
Dua siswa kelas X bertubuh mungil merapat ketakutan ke dinding belakang perpustakaan. Mereka sedang dijaili habis-habisan oleh geng Bima. Mereka yang kaget melihat Bu Kartika tiba-tiba muncul hanya bisa terdiam pasrah.
"Kalian berdua, ke kantor," perintah tegas Bu Kartika pada kedua siswa mungil. "Dan kalian," Ia mengambil paksa rokok yang ada di tangan anak anak bengal itu sebagai barang bukti. "... segera menghadap Pak Ali !"
Mendengar nama wakil kepala sekolah urusan kesiswaan yang sangat disegani itu, mereka jadi gentar. Ekspresi yang mereka tunjukkan berbeda-beda.
Bima hanya diam sambil menatap guru matematika itu.
Anton langsung berdiri dengan sikap menantang.
"Kau keberatan, Anton ?" Bu Kartika balik menatap tajam dan tidak terlihat terintimidasi meskipun tubuhnya yang lumayan tinggi dan berisi untuk ukuran wanita Indonesia, seratus enam puluh lima sentimeter, masih kalah tinggi dengan Anton yang hampir sama menjulangnya dengan Bima.
Beberapa pasang mata, termasuk Bu Eni yang cemas, mengintip dari jendela perpustakaan dengan pandangan ingin tahu.
Bima memegang pundak Anton setelah menenangkan Zaky yang ingin urun bicara. "Turuti perintahnya."
Meskipun terlihat tidak setuju, Anton menurut.
Dan itu adalah awal dari pengungkapan semua kenakalan mereka. Satu per satu siswa yang pernah menjadi korban bully dari geng bengal itu mengaku setelah Pak Ali, Bu Kartika dan guru-guru lain berhasil meyakinkan mereka untuk tidak terus menutupi kebandelan Bima dan gengnya, yang berarti juga melestarikan penindasan.
Orangtua mereka dipanggil ke sekolah. Sebagian besar dapat menerima hukuman skorsing seminggu, termasuk Nenek Bima yang sudah pernah menerima.surat panggilan karena ulah cucunya, tapi ada juga orangtua yang tidak terima dan malah menyalahkan pihak sekolah.
Ibu Bima datang sehari setelah skorsing dikenakan dan pulang lagi dua hari kemudian setelah melihat sedikit perubahan pada diri anaknya. Bima hanya menunduk dan diam seribu bahasa ketika Ibu dan Neneknya bergantian memberikan nasihat yang sebenarnya sangat benar dan masuk akal, tapi hatinya telah terbakar kemarahan hebat kepada si guru matematika.
Ia menyimpan semua dendam itu dengan rapi. Seolah ia sudah tobat dan berubah. Ia tidak membuat ulah sedikitpun selama di rumah. Ia bahkan menawarkan untuk menggantikan Pak Firman, supir Nenek, untuk mengantar sang nenek berkeliling memeriksa perkebunan.
Dengan maksud tersembunyi tertunya.
Dengan sabar Bima menunggu sang Nenek berbincang-bincang dengan para pekerja, lalu menyetir lagi, berhenti lagi, dan terus, tanpa banyak bicara.
"Kau baik baik saja kan, Bima ?"
"Baik, Nek."
"Nenek harap kau benar-benar sadar dan tidak mengulangi kebodohan semacam itu."
Bima memandang lurus ke jalan tanah tanpa ekspresi.
"Guru matematikaku itu, kabarnya Bapaknya bekerja di sini ya, Nek?"
"Oh, Tika. Anak mandor perawatan, Pak Adi. Kau pasti lupa waktu kau kecil sering main bersama adiknya, Tina."
Hah? Apa? Batin Bima. Ia benar-benar lupa semua kenangan beberapa kali liburan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan wajahnya. "Jadi Nenek kenal dia ?"
"Semua orang di kompleks perumahan karyawan pasti kenal dia. Gadis baik. Tentu saja Nenek kenal dia, Bima. Dia biasa ke rumah sebelum kau datang."
Apa? Si Kartika itu ? Protes Bima dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
Художественная проза(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...