Aku menatap gerombolan awan di bawah sayap pesawat. Mereka bergerombol membentuk lapisan-lapisan putih yang bergulung-gulung. Kumpulan uap air itu seperti kapas putih yang bersih. Tapi bagiku justru seperti kafan putih yang akan menggulung, menghentikan napas.
Jauh di bawahnya, kilauan pantulan Samudera Pasifik membentang sepanjang mata memandang. Sejenak aku berharap pesawat ini menjadi puing-puing di tengah lautan. Mungkin bagus juga jika pesawat ini bisa hilang tanpa jejak seperti di Segitiga Bermuda.
"Ah! Sial!" aku mengentak kaki dengan keras untuk membuang kesal.
Aku tersenyum kecut, ketika salah satu perempuan -yang aku lihat− menoleh, dan memergoki tingkahku. Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela di luar. Menembus kaca tebal, yang membatasi antara dunia luar dengan dunia di dalam kaleng sempit.
Aku masih terus bertanya kenapa harus berada di sini, saat ini. Sekarang sulit membedakan antara keberanian dan ketololan. Tanpa sadar aku memukul kepala. Sakit, aku meringis kemudian mengumpat ketololanku berkali-kali.
Keadaan di luar masih sama seperti beberapa menit yang lalu. Aku pejamkan mata, berusaha tidur, mungkin dengan tidur akan meringankan segala kemelut pikiran. Tapi semakin aku merapatkan mata, semakin kuat pula pikiran akan hal tersebut.
"Sial! Sial! Sial!"
Penumpang di sebelah tempat duduk langsung menoleh ke arahku. Menjauhkan sedikit badannya. Dia pasti berpikir aku gila, atau mendadak gila karena perjalanan ini. Sebelum dia berpikir bahwa aku benar-benar gila, aku berikan sebuah senyuman lebar padanya. Dia langsung membetulkan duduknya kembali -meskipun selama perjalanan dia tidak menoleh padaku lagi− mungkin dia berpikir aku belum cukup gila untuk membuat kekacauan dalam penerbangan ini.
Kenapa aku tidak menonton saja?
Ah, hiburan macam apa yang bisa mengalihkan perhatianku saat ini. Bahkan tidur pun tak berhasil menenangkan pikiranku.
Aku mengambil sebuah buku dari dalam tas. Ada passport dan beberapa lembar nota belanja yang terselip di sela-sela halamannya. Saking tergesa-gesa nota belanja pun sampai terbawa. Tapi bukan itu yang aku cari. Aku mencari sebuah benda yang hampir mengubah setengah perjalanan hidupku. Jika bukan nenek yang meminta, aku tak akan pernah segila ini melakukan perjalanan, yang aku sendiri tidak tahu maksud dan tujuannya.
Mencari sebuah harta karun yang diucapkan oleh seorang wanita berusia hampir 90 tahun yang menderita demensia. Dan aku sebagai cucu satu-satunya, yang diberi tugas untuk mencari harta karun itu.
Permainan macam apa ini?, aku menghela napas panjang. Bahkan ayah yang biasanya berpikiran paling logis diantara kami, menyetujui keinginan nenek. Oh Tuhan, apa yang terjadi?
Aku membuang napas dengan sedikit keras ketika mengingat kejadian itu.
Well, aku sebenarnya memang merindukan ayah dan ibu. Tapi kembali untuk mencari harta karun? Ceritanya menjadi berbeda. Sangat berbeda.
Cerita harta karun itu membuat pikiranku kembali meracau. Mengumpat keputusan bodoh yang aku buat sendiri. Segala hal tentang Indonesia tiba-tiba menjadi sangat berat ketika di hubungkan dengan harta karun.
Aku menemukan kertas yang di cari dalam agenda, kertas cokelat dengan tulisan -entah apa− yang hanya mampu aku mengerti berupa huruf G-A-L-U-H, membuat napas terasa sesak. Tatapan nanar yang terpancar dari kedua mataku mungkin bisa membakar dan menjadikannya abu tak bersisa.
Senyum licik pasti tercipta di wajahku saat ini. Ide-ide licik dan curang mulai bermunculan di kepala. Sama liciknya ketika nenek memberikan kertas kepadaku. Tanpa melihat bagaimana kesibukan jadwal kuliah yang aku jalani.
Aku bisa berpura-pura bahwa kertas itu hilang, dan kembali ke Osaka. Toh, aku sudah menuruti keinginan nenek untuk kembali ke Indonesia. Aku mengangguk-angguk menyetujui ide di kepala, senyuman licik itu pasti bertambah lebar sekarang.
Ahh, ucapku kesal ketika turbulensi menghantam, dan membuat sedikit guncangan pada pesawat. Guncangan itu menyebabkan beberapa kertas sedikit tercecer di ujung kaki.
Kenapa tidak guncangan besar saja, biar bukan hanya kertas ini yang hilang, aku sekalian saja yang hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMANEA
Historical FictionBlurb Keinarra Galuh seorang mahasiswi keturunan Indonesia-Jepang. Ia terbang ke Indonesia untuk menemukan harta karun atas perintah neneknya. Tapi semakin terang teka-teki rahasia itu, ia justru semakin dekat dengan bahaya. Bahkan semakin dekat den...