Bagian 4

5 1 0
                                    

"Saya Edwin, kakaknya Diana,” lelaki itu mengulurkan tangannya, ”semoga anda nyaman di sini.”
Aku menyambut tangannya,”Terima kasih, saya Arra.”

Aku memperhatikan Edwin. Ada keloid yang melingkar di jari kelingkingnya dan noda hitam yang samar, mungkin awalnya ada sebuah gambar di sana. Tapi kemudian dihapus, sehingga meninggalkan jejak luka.

“Arra, Edwin ini memiliki ketertarikan dengan benda antik. Semoga dia bisa membantu kamu,” Teguh tersenyum menatap ke arah Edwin. Teguh pasti menangkap sikap defensif yang aku tunjukkan.

“Bisa aku lihat surat itu?” dia menarik sebuah kursi di hadapannya. Kami tengah berkumpul di ruang makan, Raja sudah tidur sejak tadi. Diana duduk di sebelah Teguh. Aku memainkan bola mata saat Edwin menanyakan sobekan kertas itu.

“Aku sudah menceritakan maksud kedatanganmu pada Edwin, Arra. Sekarang ayo kita lihat apa isi surat itu.”
Teguh menganggukkan kepala, meyakinkan bahwa Edwin bisa dipercaya. Meski ia tak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Oke, tunggu sebentar. Akan aku ambil suratnya,” aku bergegas menuju kamar. Dengan langkah yang tergesa-gesa, aku hampir menabrak pajangan yang ada di dekat pintu kamar. Beberapa saat kemudian aku telah kembali di tengah-tengah mereka.

“Ini suratnya,” aku membentangkannya di atas meja. Surat berukuran 10cm x 7cm itu terlihat semakin kecil di atas meja makan yang cukup besar. Warna cokelat kertas tidak secokelat warna meja yang menjadi background.
Teguh dan Edwin memperhatikannya dengan sangat teliti. Menatapnya dengan tatapan antara takjud dan gelisah.

“Hm, ini belum terlalu tua,” Edwin mulai menganalisa, kami terdiam. Dia menyentuh bagian sudut surat itu. “Agak aneh,” dia melanjutkan, “Benarkan ini petunjuk menuju harta karun?”

Dia berbicara sendiri, seolah-olah sedang mencari sudut kecil dalam otaknya, berusaha mengingat atau mencari suatu hal yang mungkin terlewatkan olehnya.

Sedangkan kami bertiga, hanya terdiam. Menunggu penjelasan selanjutnya dari Edwin. Sepertinya hanya dia yang mengerti tentang hal seperti ini. Sedangkan kami bertiga hanya penonton di pinggir panggung yang berusaha memahami isi kepala Edwin.

Edwin berkali-kali mengangguk. Kami melongo menatapnya.

Siapa lelaki ini sebenarnya? Bisakah aku mempercayainya?

“Aku tahu ke mana kita harus pergi!” teriak Edwin membuyarkan lamunanku yang sekilas.

SAMANEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang