BENAKNYA berkecamuk, akibatkan tubuh bergerak gusar hilang arah. Jari telunjuk kanan digigit, alihkan rasa gugup yang berada diujung tanduk agar tak membuncah.
Wanda kebingungan, siang tadi pada jam istirahat kedua ia dipanggil menuju ruang bimbingan konseling. Yang Wanda kira karena masalah menunggak iuran, tapi ternyata bukan.
Bu Asti, guru berkacamata itu menanyakan pada Wanda, perihal didapatinya pakaian dalam perempuan di gudang, yang menurut siswi lain itu milik Wanda--entah siapa yang mengatakannya.
Wanda langsung mengelak, walaupun sering berada di daerah belakang sekolah, ia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di gudang, apalagi sampai meninggalkan pakaian dalamnya.
"Semesta, mengapa hariku harus seperti ini?"
Sedikitnya Wanda bersyukur, bahwa bu Asti tak memihak siapapun. Tapi sebagai balasannya ia diberi bimbingan--nasihat yang tidak ada ujungnya hingga petang tiba.
Angkutan umum sudah terlalu ramai pada jam segini, kalaupun naik hanya akan membuang waktu karena jalan teramat padat hingga arus kendaraan bergerak lambat.
"Katanya bila kita berusaha menerima, cobaan tidak akan begitu berat. Tapi mengapa setiap waktu berlalu kau beri skenario yang berat untukku, semesta?"
Langkah Wanda limbung, agak tak seimbang karena sang empu dilanda kebingungan.
Siapakah gerangan manusia yang tega melaporkan dirinya untuk hal menjijikkan itu?
"Aku harus bilang apa pada ayah, semesta? Bukannya dipercaya, aku malah akan dipukul"
Ah, diam-diam Wanda jadi rindu pada bunda. Walau tak pernah dengar suara dan rasakan dekapannya, tetapi bunda seakan selalu berada disisinya.
Berdetak dalam jantungnya, mengikuti setiap langkah lambannya.
"Mau kemana, Kayana?"
Wanda terlonjak kaget, sontak menoleh pada sumber suara, didapatinya Dhika--kakak kelas yang sudah lebih dari seminggu ini selalu mendekatinya.
Dhika tak sendiri, tepat diboncengan sepeda tuanya terdapat Bhadra, yang hari-hari sebelumnya dengan percaya diri menjabat tangan Wanda dan berkata;
"Gue Bhadrasana, panggil aja Bhadra. Sahabat sehidup-sematinya Dhika"
Kata yang diucapnya itu terdengar agak tak cocok dengan logat jawanya yang cukup kental. Tapi Wanda hanya mengiyakan, terlalu malas sebab Bhadra tersenyum terus seperti orang sawan.
"Pulang" Wanda lanjutkan langkahnya.
"Cah ayu ndak naik angkot?" Bhadra lemparkan pertanyaan pada Wanda.
"Macet"
"Wes mangan cah ayu?"
"Belum"
Kening Bhadra bertaut, lantas tepuk punggung Dhika, "Belum mangan calonmu tuh, gak mau beliin?"
"Boleh lah. Pasar gak jauh dari sini, ayo mampir" Ujar Dhika, kemudian berhenti mengayuh.
"Kenapa toh, Dhik?"
"Lo bawa, Dra. Gue ngerayu Wanda dulu" Jawab Dhika.
"Emang bisa? Rayuanmu kan sampis"
Dhika jitak kepala Bhadra, "Doain yang bener, dah nih kayuh sendiri, lo berat" Setelahnya bergegas hampiri Wanda yang berjalan didepan sana.
"Oh alah, kurang ajar. Tapi emang bener sih, beratku naik, berapa ya?" Bhadra tak mau ambil pusing perihal berat badannya, kemudian ia kayuh sepeda tuk susul Dhika.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEIRD LOVE [✓]
Fanfiction|Re-publish| Pilu membiru, luka lama yang belum usai perlahan membusuk tatkala luka baru hadir menggores. Wanda hanya tahu, bahwa dalam hidupnya hanya ada dua rasa, perih dan pedih. Luka dan sakit. Tubuhnya ringkih, berbalut lebam yang mewarnai sem...