Kemesraan di Antara Dlulumat dan Nur

77 1 0
                                    

Senang dan asyik juga menyaksikan bagaimana kepolosan jamaah Umat Islam itu. Ketika penyanyi ‘country’ Franky Sahilatua saya ajak ke Menturo dan tampil menyanyikan beberapa lagu dengan suara gemetar di depan ribuan warga Padang Bulan—para jamaah menyerbunya dengan berbagai pernyataan, himbauan, terkadang gugatan dan bahkan ‘perintah’ yang menyangkut perjuangan Islam.

Padahal Franky bukan seorang Muslim. Dan itulah sebabnya ia agak keder dan vocalnya menjadi tidak los ketika menyanyi. Pada umumnya jamaah itu langsung saja menganggap ia seorang Muslim. Bahkan mematoknya sebagai artis muslim pejuang Islam. Mungkin mereka berpikir, “Wong yang membawa Franky ke sini ini Cak Nun kok, mosok dia bukan Muslim” “Apa pendapat Mas Franky tentang budaya musik kita yang semakin dangkal pemaknaannya dan sekular estetikanya….”

“Sebagai seorang Muslim Mas Franky harus mencari peluang sebanyak mungkin untuk menterjemahkan Islam ke dalam setiap sepak terjang kesenian mas Franky!” Nanti seusai pengajian sejumlah orang menyerbu saya dengan pertanyaan, “Mas Franky ini sejak kapan masuk Islam?”, “Mas Franky ini Muslim atau bukan sih?”

Tentu saja saya jawab, “Kalau sudah Muslim, syukurilah. Kalau belum Muslim, doakanlah dan kirimi Al-Fatihah agar Allah memberinya hidayah” Terhadap serbuan pertanyaan yang penuh ghirrah keislaman dan idealisme itu mau tak mau saya harus menjadi bemper. Situasi banyak saya ambil alih. Fanky bukan seorang ‘pesilat’. Kalau orang memaksanya bertempat di posisi yang bukan posisinya, dan meletakkan pijakan dan pose kakinya pada kuda-kuda yang tidak tepat—saya tahu ia pasti kerepotan.

Padahal saya mengerti persis hatinya. Saya sudah cukup lama mengenyam ketulusan perasaannya dan kejujuran pikirannya. Ia meminta agar saya membuatkannya syair-syairnya untuk satu album khusus, dan saya memenuhinya dengan penuh keriangan dan rasa syukur. Semua yang ia kerjakan dalam proses pembuatan album itu, sejauh saya mengenalinya, Fanky bersikap Islami. Dan tatkala ia hadir di dusun saya, menyanyi dengan lugu di depan jamaah, kemudian mengobrol dengan mereka yang mengerumuninya—tidak satu hal pun dari nyanyiannya, ucapan dan perilakunya yang bisa dikategorikan tidak Islami.

Saya ingat sekitar tujuh tahun lalu saya mengajak seorang tokoh teater rakyat dari Belanda keliling menemui banyak jamaah-jamaah Kaum Muslimin. Antara lain ke masjid Unibraw Malang. Sesudah salat Isya kami berdiskusi dan saya disuruh berdiri di podium. Di tengah-tengah itu saya minta si Belanda maju untuk (memilih) omong tentang cinta kemanusiaan dan keadilan sosial. Ditemani seorang teman lain dari Wisconsin AS.

Si Belanda membawa gitar dan menyanyikan beberapa lagu. Satu dua kalimat bahkan didendangkan dengan spotan mengajak para jamaah turut bernyanyi. Saya menyaksikan mereka semua beriang gembira dalam rasa perjuangan dan keprihatinan.

Sesudah selesai dua Bule ini nyanyi dan omong, saya kemukakan kepada jamaah bahwa si Amerika ini seorang Kristiani, sedangkan si Belanda ini belum mengenal Tuhan. Namanya juga belum kenal, jadi pasti juga belum mengakui. Istilah umumnya, ia disebut ateis.

Para jamaah, yang terdiri dari mahasiswa, dosen serta pemuda-pemudi kampung sekitar—tentu saja sangat kaget. Mungkin ada di antara mereka yang langsung merah muka dan spontan akan melemparkan peci atau apa sekenanya ke arah saya. Tapi alhamdulillah karena saya adalah ‘orangtua’ mereka, maka mereka tenang-tenang saja.

Saya bertanya, “Saudara-saudara, selama Mas Belanda dan Paman Amerika ini berada di masjid ini dan melakukan sesuatu, adakah hal-hal dari ucapan dan perilaku mereka yang menurut Sampeyan bertentangan dengan Islam? Atau kalau saya boleh lebih jujur: tidakkah semua yang kita diskusikan dengan dua teman baru kita ini, termasuk nyanyian-nyanyian mereka, telah membantu ghirrah perjuangan keislaman kita di tengah dunia yang ruwet ini?”

Alhamdulillah kedua kawan dari negeri seberang ini tidak benar-benar paham bahasa Indonesia. Jadi tidak engeh juga ketika ada seorang dari jamaah yang bertanya: “Kalau memang dia seorang ateis, kenapa Cak Nun membawanya ke masjid?”

Saya jawab, “Karena dia sangat mencintai ciptaan Allah, terutama manusia, dan ia menumpahkan hidupnya untuk memperjuangkan nasib baik manusia. Maka saya sangat ingin para Malaikat di masjid ini turut membukakan pintu hatinya, sementara kita semua memohon kepada Allah agar memberinya hidayah.”

Orang Islam itu kadang memang aneh. Tuhan menyuruh mereka agar membawa siapapun saja min azh-zhulumati ila an-nur. Allah memerintahkan agar mengajak siapa pun saja berpindah tempat dari kegelapan ke cahaya. Tapi pada praktiknya mereka malah menjauh atau mengusir orang yang masih berada dalam kegelapan. Saya tidak tahu bagaimana melaksanakan perintah Allah itu kalau yang bersangkutan malah dibuang atau dijauhi.

Si Amerika ini beberapa lama di Yogya. Ikut banyak kegiatan saya, termasuk dalam pembuatan paket-paket kesenian musik, teater atau dramatisasi puisi yang semuanya untuk keperluan komunitas Muslimin. Saya tidak menemukan faktor apapun dari agamanya yang ia bawa ke depan saya, apalagi dipaksakan dalam proses kreatif kami.

Adapun si Belanda ini belum menemukan Tuhan, baik karena belum ia temukan metoda atau ilmu untuk itu, maupun karena sejarah perkembangan hidupnya memang lebih banyak mendemonstrasikan kepadanya betapa praktik orang beragama justru menjadi faktor pemecah silaturahmi kemanusiaan, atau bahkan ketidakadilan, otoritarianisme dan perang.

Ia tidak mengakui Tuhan atau adanya Tuhan, karena ia menyangka bahwa akal pikirannya mutlak. Bahwa otaknya adalah pedoman primer bagi segala pengetahuan, pengalaman dan hakikat. Otaknya itulah tuhannya.

Ia belum mengalami kesejatian bahwa puncak kerja akal pikiran adalah ketidaktahuan. Di hadapan Allah, akal manusia bak lalat di permukaan matahari.

Jadi tuhannya si Belanda, yang mengurungnya dan yang mutlak berlaku padanya, adalah ketidaktahuan. Adalah kehangusan dan kemusnahan lalat di panas matahari. Itulah yang disebut dlulumat. Tapi sampai tingkat tertentu, ia tetap dibimbing oleh Allah. Si Belanda itu secara teologis masih berada pada maqam dlulumat, tapi secara kultural ia bukan seorang dhalim. Dalam medan perjuangan yang dipilihnya, serta dalam perilaku kesehariannya, ia banyak merupakan reflektor dari rahman rahim Allah, dari halim dan mannan-Nya kepada siapa saja di depan dan sekeliling hidupnya.

Demikianlah juga Franky. Sejauh ia saya kenali dalam pergaulan dengan saya, ia bukan seorang yang dhalim. Untuk ini bahkan kita juga jangan lupa bahwa tidak sedikit di antara Kaum Muslimin, yang sudah bersyahadat, yang sudah rutin shalat, berpuasa dan berzakat, lebih dari itu bahkan sudah berhaji—tetapi terkadang atau sering, masih juga mereka lakukan kezhaliman ke sekitarnya.

“Apakah Sampeyan tidak berusaha mengislamkannya?” ada yang bertanya demikian.

“Bagaimana mungkin saya bisa melakukan itu?” jawab saya, “Allahlah yang mengislamkan hamba-Nya. Yang sanggup saya lakukan hanyalah ber-Islam dan meng-Islam kepadanya. Selebihnya innaka la tahdi man ahbabta, walakinnallaha yahdi man yasya. Engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada siapapun saja, meskipun ia sangat engkau cintai. Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Soalnya tinggal apakah seseorang rindu untuk dikehendaki oleh Allah, ataukah membiarkan dirinya dibiarkan oleh Allah.” []

Cak Nun - Sebuah Kumpulan TulisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang