Maaf ? Sinting !

9.9K 790 52
                                    

Keesokan harinya belum terlihat tanda-tanda kehadiran Bu Kartika di sekolah.

Bima menunggu.

Ia menunggu bu guru satu itu masuk dan melaporkan tindakan kurang ajarnya ke guru BK, wali kelas, Pak Ali atau bahkan kepala sekolah. Ia menunggu tindakan sekolah jika hal itu benar-benar terjadi.

Ia sudah pernah kena skorsing. Selanjutnya pasti lebih berat. Mungkinkah dikeluarkan? Yah, itu mungkin. Lalu apa ?

Bima melemparkan bola basket mini ke dalam ring yang terpasang di tembok kamarnya. Masuk. Mudah. Semudah jalan hidupnya sebagai pewaris tunggal keluarga. Separuh perkebunan nenek Marti saja mungkin akan jadi miliknya karena ibunya juga anak tunggal.

Huh, andai orangtuanya tidak seketat ini memperlakukannya. Mengapa mereka tidak seperti orangtua kawan-kawannya dulu yang tidak terlalu ambil pusing akan kelakuan anak-anaknya ? Haaahh... Bima mengacak-acak rambutnya. Hubungannya dengan semua kawannya di Jakarta pun diputus. Ia dilarang menggunakan medsos apapun. Kalau sampai melanggar....

Yah, apa jadinya kalau ia benar-benar melanggar atau dikeluarkan dari sekolah. Bima ingin tahu ke mana lagi ia akan diungsikan. Ke tempat famili lain yang lebih jauh tempatnya ?

Ia meringis. Tapi ekspresi itu segera hilang dari wajahnya. Bagaimana kalau mereka benar-benar serius membuangnya seperti alternatif yang pernah mereka tawarkan ?

Pintu kamarnya diketuk pelan. Suara nenek Marti memanggil.

"Ya, Nek. Sebentar..." Bima membuka pintu kayu tembesu yang kokoh itu.

Sang nenek menatapnya sesaat lalu masuk. Ia duduk di kasur dan melayangkan pandang ke kamar Bima yang seperti kapal pecah meskipun hampir setiap hari ada pembantu nenek yang membersihkan.

Bima heran. Neneknya selama ini tidak pernah masuk ke kamarnya, apalagi menyempatkan duduk. Bima jadi tidak enak hati. Pasti ada sesuatu yang penting.

"Kartika masuk klinik," ujar sang nenek menyebutkan sarana kesehatan di kompleks perumahan mereka. "Sudah dua hari lebih."

"Oh, pantas tidak kelihatan di sekolah," kata Bima sambil mempertahankan nada tidak pedulinya sekuat mungkin. "Memangnya kenapa, Nek ?"

Sang nenek menatapnya tajam. Bima jadi resah kalau neneknya sudah begitu.

"Nenek tahu kamu kurang akur dengan dia, entah apa sebabnya. Tapi kau seharusnya sudah dapat berpikir bahwa tindakanmu itu sama sekali tidak lucu."

"Apa sih maksud Nenek ?"

"Jangan khawatir. Jelas bukan Kartika yang cerita. Ia bukan jenis orang seperti itu. Ia bahkan tidak mengatakan apa-apa. Kau cucu nenek satu-satunya. Nenek tidak pernah memaksa kau mau jadi apa. Nenek hanya ingin kau jadi orang baik. Tapi sekarang Nenek kecewa, kau secara tak langsung melukai gadis yang juga nenek sangat sayangi."

Bima masih bertahan. "Nenek bicara apa sih ?"

"Beberapa saat setelah kau pulang kesorean beberapa hari yang lalu, Pak Firman bercerita bahwa ia menemukan Kartika tengah berjalan sendirian di tengah badai. Alasannya ojeknya mogok."

"Terus, apa hubungannya dengan aku, Nek ? Salahkan ojeknya, dong."

Sang nenek menarik napas, menyabarkan diri. "Bima, nenekmu ini benar sudah tua, tapi belum linglung, Nak. Nenek bisa menarik kesimpulan sendiri...."

Giliran Bima yang kehilangan kata-kata.

Sepulang sekolah keesokan harinya, Bima mengarahkan motornya ke perumahan karyawan, ke rumah Bu Kartika. Ia tadi mampir ke klinik tapi pasien itu sudah diizinkan pulang. Flu berat dan demam. Ditambah beberapa luka gores di kaki dan terkilir angkle kanan.

The Teacher and The HeirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang