Udah la nggak up di jam kalong. Ada yang masih jaga?
"Siapa yang nelpon lagi, Jen?"
Sehabis telepon dari Gara, ponselku berbunyi lagi. Setelah melihat caller id, Jeny memutuskan panggilan tersebut.
"Eh bunyi lagi, sini Jen, mahasiswa mungkin."
"Bukan. Itu dari—Le, itu kayaknya papa anakmu udah datang deh, Le."
"Bukan, JEN! HIH, jangan bicara yang tidak-tidak, ya!"
"What ever! Aku ke depan dulu bukain pintu untuk Papa Gara."
Jeny berjalan dengan setengah antusias menghampiri pintu. Eh jika Gara di depan, mungkinkah yang meneleponku tadi adalah Lian? Untung Jeny meninggalkan ponselku di atas meja. Oh ya, aku sedang duduk meluruskan kaki di sofa panjang menyampingi televisi. Setelah berhasil menjangkau ponsel, aku segera melihat panggilan masuk pada ponsel.
Lian.
Benar Lian. Ya Allah, dia meneleponku! Begini saja rasanya aku sudah tidak kesal lagi. Haruskah aku telepon balik? Ehhm... apa dia akan mengangkat teleponku? Lalu aku harus bicara apa? Bertanya kenapa dia lupa mengajakku pulang? Ah tidak tidak. Kalau itu seperti istri yang merajuk. Aku tidak.
Eeh? Lian menelepon lagi. Aku harus menjawabnya. Aku ingin tahu Lian dimana.
"Ekhm. Lian."
"Kamu dimana?"
"SUDAH AKU BILANG, LEZYA ITU BAIK-BAIK SAJA! AKU TIDAK MUNGKIN MEMBUNUH TEMANKU SENDIRI! KAMU BEGO APA BEGO!"
Jeny mengejar Gara yang berjalan cepat ke arahku. Wajah kedua orang itu sama-sama mengeras. Mereka tersulut emosi. Sudah aku bilang, Jeny salah mengajak Gara bercanda.
"Li, aku sama Jeny. Aku tutup dulu ya, assalamu'alaikum."
Tepat saat aku meletakkan ponsel, Gara telah berlutut di sebelahku. Dia benar-benar mencemaskanku? Kenapa harus dia? Matanya yang dinaungi alis hitam lebat mencari ke dalam mataku memastikan aku baik-baik saja. Benar. Aku bisa mendengar tarikan napasnya ketika dia mengalihkan pandangan ke bawah. Kedua tanganku dia genggam.
"Kali ini aku tidak akan mengalah lagi. Dia benar-benar sudah keterlaluan kepadamu."
"Kamu maksud Lian? Bukan kapasitas kamu turut campur urusan rumah tangga kami, Mas Gara."
"Dia lelaki tidak punya otak! Masih mau dibela juga? Nyonya, kamu jangan bodoh! Dia meninggalkanmu! Kamu itu kenapa sih?!"
"Kamu yang kenapa marah-marah sama saya?" Aku tarik tanganku dari genggamanya. Jujur, volume suaranya menakutkan. Aku memalingkan wajah darinya. "Turunkan suaramu. Saya tidak suka kamu marah-marah ke saya untuk urusan yang tidak ada kamu di dalamnya. Saya perjelas, ini bukan urusan kamu!"
Gara yang kulirik tengah menjambak rambutnya. Wajahnya yang putih memerah. Daun telinganya menjadi warna pink. "Ngomong-ngomong, kenapa Mas Gara bisa tahu Lian dan Aqila ada di gedung itu?"
"Kebetulan."
Gara mengacak rambutnya lagi. Mungkin karena itu rambutnya menjadi ikal.
"Aaah!! Baik aku jujur. Aku datang ke rumahmu tadi. Kulihat Nyonya dan lelaki itu pergi. Lalu aku ikuti. Waktu kalian masuk ke gedung, aku menunggu di luar. Ternyata dugaanku tepat. Lelaki tak punya otak itu meninggalkan kamu dan pergi dengan madunya. Dan kamu hilang dari pesta! Aku mencari-carimu, Nyonya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...