Bab 1

598 16 2
                                    

Aku menutup kepalaku dengan tas saat akan melewati hujan, sebelum sebuah payung biru memblokir jalan hujan menyentuh rambutku. Mendadak rahangku mengeras mengingat payung siapa yang sedang melindungiku dari hujan. Trixie. Ya, payung itu milik Trixie. Siapa lagi gadis SMA yang menyukai payung berwarna biru dengan gambar kartun Doraemon menghiasi payungnya, selain Trixie?

Melihat itu, langsung saja Aku menerobos hujan menuju parkiran, menghiraukan teriakan Trixie yang memanggil namaku dan menyuruhku untuk kembali ke lobi karena hujan masih deras.

Aku benci hujan. Sangat membencinya. Apalagi sosok gadis kecil bernama Trixie itu. Hujan dan Trixie adalah dua kenangan mengerikan yang tak pernah ingin kuingat. Aku membenci keduanya, terlebih Trixie.

Aku menghentikan mobilku dengan kesal saat melihat lampu lalu lintas yang berwarna merah. Hujan sudah tidak terlalu deras, tetapi gerimis tetap menghiasi langit yang berwarna kelabu itu.

Aku mengendarai mobil dengan kecepatan yang terbilang lambat karena macet yang mendera jalanan Jakarta. Suara bunyi yang berasal dari ponselku itu mengganggu konsentrasiku. Aku segera mengambilnya dari dalam saku.

Papa.

Dengan decakan kesal, Aku mengangkatnya.

"Halo, ada apa, Pa? Kalau Papa mau membicarakan Gadis Sialan itu, Aku nggak mau dengar," ucapku ketika mengangkat telepon.

"Rev, Papa minta tolong, antarkan Trixie ke rumah. Mobil Pak Ujang bannya bocor," ujar Papa menghiraukan ucapanku.

"Reve udah mau sampai apartemen, Pa. Lagian, jalannya macet, malas kalau harus putar balik ke sekolah lagi. Cewek itu kan bisa naik Taxi, manja banget. Udah ya, Reve lagi nyetir, bye!" Aku langsung memasukkan ponselku kembali ke dalam saku seragam setelah mematikan telepon dengan sepihak.

Oh ya, namaku Revelio Oregon. Panggil saja Reve. Aku tinggal di apartemen semenjak SMP, dan ijin itu tidak begitu saja bisa kudapatkan. Aku harus meyakinkan Papa agar aku diijinkan untuk tinggal di apartemen dengan cara mendapatkan nilai yang bagus. Papa setuju aku tinggal di apartemen dengan syarat aku harus selalu mendapatkan ranking satu, dan aku berhasil mempertahankan peringkat itu sampai sekarang, sampai kelas 12 SMA.

Kembali ke kegiatanku. Sekarang aku sudah sampai di apartemen dan sedang berada di depan laptopku. Aku berencana untuk menyelesaikan cerpen buatanku sekarang juga. Kemarin, aku sibuk memikirkan konfliknya dan ide konflik itu baru berhasil muncul sekarang, saat aku menyeduh cokelat hangat di cuaca yang dingin ini.

Ya, aku salah satu cowok yang menyukai buku, puisi, cerita, dan sesuatu yang berbau kata. Bahkan, sekarang ini aku sedang berniat untuk mengajukan naskah cerpenku untuk dilombakan lagi, seperti tahun lalu. Tidak banyak yang tahu tentang itu, hanya bu Teteh dan juga Felix, teman sebangkuku yang sangat menyukai pelajaran Fisika.

Aku sengaja menyembunyikan hal itu. Cukup saja aku di sekolah dikenal sebagai seorang cowok yang cuek—aku sering mendengar cewek-cewek yang kulewati berkata seperti itu— dan aku tidak akan mengubah pandangan itu.

Nah, selesai! Aku menatap puas karyaku yang baru saja kuselesaikan. Aku membaca ulang cerita itu, lalu mengoreksi beberapa kesalahan tanda baca dan juga typo karena terlalu cepat mengetik. Setelah merasa sempurna, aku memindah file itu ke dalam flashdisk untuk kuberikan ke bu Teteh besok. Omong-omong, bu Teteh adalah guru Bahasa Indonesia ku.

Setelah selesai dengan kegiatanku tadi, aku menyingkirkan laptop dari meja belajarku. Aku memeriksa jadwal untuk besok, lalu menyiapkan bukunya di atas meja untuk kupelajari. Aku bukan sosok cowok yang murni pintar seperti Felix, jadi aku harus selalu berusaha untuk mempertahankan peringkatku dengan belajar setiap hari. Kalau sampai Papa mendengar peringkatku turun, walau di ranking dua sekalipun, dapat dipastikan ia akan menarik fasilitas apartemenku, bahkan menjualnya. Aku tidak bisa membayangkan hal itu terjadi, jadi mau tidak mau aku harus tetap belajar untuk mempertahankannya.

Besok adalah pelajaran Fisika, dan aku lemah dalam pelajaran itu. Apalagi besok ulangan harian, merepotkan. Jadilah aku menghubungi Felix.

You: Lix, gw ke rmh lo y, bljr Fisika.

Tanpa menunggu balasan dari Felix, aku segera menyiapkan buku Fisika ke dalam tas, menggendong tas itu keluar, lalu menyambar kunci mobilku. Aku pergi.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang