Holy Sin - #21

4.7K 307 5
                                    

Preston mengantarku kembali ke kantor, dan aku masih bersikap kaku.

"Aku benar-benar khawatir, Teala. Kau baik-baik saja?" Tanyanya untuk kesekian kalinya.

Sekali lagi aku tersenyum kaku. "Aku baik-baik saja, Preston. Well, terima kasih untuk makan siangnya. Sampai jumpa!" Aku mengecup pipinya kemudian turun dari mobil.

Sambil menarik napas panjang, aku berjalan memasuki kantor. Suasana masih sepi mengingat aku kembali dari makan siang sedikit lebih cepat.

Cukup mengherankan karena Robert tidak memberitahuku ia akan menetap di sini selama beberapa bulan. Gideon pun tidak menyinggungnya pada pertemuan terakhir kami.

Oh, memangnya apa peduliku?

Seolah ada sihir, ponselku berdering dan tertera nama Robert pada layar. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Setelah sekian lama, ia baru menghubungiku? Apa yang harus kukatakan? Sikap apa yang harus kuambil?

Menarik napas panjang sekali lagi, aku memberanikan diri menerima panggilan tersebut.

"Robert!"

"Hai, Teala," balasnya kaku.

"Ada yang bisa kubantu?"

Oh, mengapa sikapku sungguh tenang? Mengapa aku tidak bisa berteriak di telinganya seperti para remaja bodoh yang putus cinta?

"Sejujurnya ada hal yang perlu kusampaikan." Oh, ini dia! "Kau sudah makan siang?"

"Sayangnya aku sudah, Robert," jawabku seformal mungkin.

Kudengar tarikan tajam napasnya. "Bagaimana dengan makan malam?"

"Mengapa kau tidak mengatakannya sekarang?"

"Aku yakin percakapan lewat telepon akan sangat membuang waktu kita."

"Dengar, Robert, apa pun yang hendak kau katakan, kau bisa mengatakannya sekarang." Ucapku tegas. "Aku tidak terlalu ingin bertemu denganmu."

"Well, kupikir kau akan sedikit lebih dewasa." Dan dengan begitu ia memutus sambungan.

Aku menatap ponselku sambil tercengang. Apakah yang baru saja kudengar itu nyata? Ia baru saja merendahkanku dan mengakhiri telepon begitu saja? Demi Tuhan, memangnya semua yang terjadi di antara kami adalah sepenuhnya salahku?

Well, jika ia berpikir demikian, aku tidak akan peduli lagi apa yang ia rasakan. Kupikir menjalin hubungan dengan seseorang yang jauh lebih tua akan semakin mudah? Seharusnya ia bersikap dewasa.

"Teala, kau terlihat kesal." Kulihat Gabriel berjalan menghampiriku. "Wajahmu sungguh merah."

"Berhenti mengomentari wajahku, Gabriel!"

Selama sisa waktuku di kantor, aku tidak bisa fokus bekerja. Dengan adanya Robert di sini, ia akan melakukan apa pun sesuka hatinya—termasuk memaksaku keluar bersamanya atau hanya sekadar bicara. Pada intinya, hidupku tidak akan tenang. Apa pun yang direncanakannya, hanya Tuhan yang tahu apakah itu akan berdampak baik atau buruk bagiku.

Mengetahui Robert sama sekali tidak peduli denganku telah memberiku cukup alasan untuk menjauhinya—anggap saja dia sebagai ayah angkat yang telah lama hilang. Oh, Tuhan, sekarang aku terdengar seperti remaja dramatis.

Pada pukul lima, aku nyaris melompat berdiri dari kursi dan berlari. Nyaris. Nyatanya, dengan santai kurapikan kubikelku lalu keluar darinya. Kulihat tatapan penasaran Gabriel dari jauh, namun kuputuskan untuk terus berjalan menuju lift dan keluar dari kantor secepatnya.

Holy SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang