9. Sunflower

212 22 4
                                    

Aku dengan sangat terpaksa ikut dengan Illana dan kakaknya, Ivander. Tanpa menanyaiku, Illana serta-merta langsung menyeretku untuk masuk ke dalam mobil. Aku kesal karena seharusnya bisa pulang bersama Arun, tapi aku malah terjebak di sini. Di sebuah kafe di salah satu sudut kota.

Kafe, restoran, atau semacamnya merupakan hal mewah bagiku. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sini. Mbah Putri dan Mbah Kakung tidak pernah mengenal tempat semacam ini. Mentok-mentok kemewahan makanan bagi kami adalah saat makan di sebuah warung nasi padang. Ukuran kantong kami memang hanya sebatas itu. Bahkan aku belum pernah masuk di restoran-restoran cepat saji yang terkenal itu.

Aku mungkin sekarang terlihat kampungan. Di dalam ruangan berpendingin udara ini aku merasa kikuk dan asing. Membaca menu-menu di sini membuatku mengernyit. Selain karena nama menu yang tidak familier, juga harga makanannya yang paling murah setara dengan keuntunganku berjualan donat di sekolah selama sehari.

"Mau pesan apa, Tha?" tanya Illana yang membuatku gelagapan. Mataku masih menelusuri daftar menu yang diberikan pelayan tadi hingga akhirnya aku memutuskan untuk memesan iced tea yang harganya paling murah.

"Es teh doang?" Illana bertanya sekali lagi untuk meyakinkan. Aku mengangguk. Uangku hanya cukup untuk membeli es teh di sini.

Kulihat Illana sedikit berdecak. "Pesan yang lain juga, Tha. Tenang saja. Kak Ivan yang traktir, kok. Iya kan, Kak?" Illana melirik si Kakak yang duduk di depannya. Sedangkan aku duduk di sebelah perempuan ini di atas sofa dekat jendela kaca.

"Apa sih, yang nggak buat cewek-cewek cantik ini?" seloroh Kak Ivan yang disusul derai tawa dari Illana.

"Hati-hati ya, Tha. Jangan sampai terkena rayuan kakakku! Dia ini raja gombal. Adiknya saja sering digombalin," bisik Illana, tetapi dengan suara yang cukup untuk di dengar dalam radius satu meter.

Kak Ivan sendiri hanya menanggapi dengan tawa renyah. Sebuah suara tawa paling menyenangkan yang pernah kudengar. Seolah seisi dunia akan ikut tertawa jika tawanya berderai. Sungguh aku merasakan sebuah kehangatan hanya dari suaranya.

Setelah memesan, pembicaraan pun kembali berlanjut. Bukan sebuah pembicaraan yang melibatkan aku di dalamnya, tapi lebih ke arah pembicaraan mereka berdua. Aku hanya menyimak dan menjadi penonton.

Aku hanya mampu menangkap isi obrolan mereka secara singkat. Bahwa Kak Ivan sedang liburan di sini dari kuliahnya di Amerika Serikat sebelum melanjutkan pendidikan masternya. Selebihnya aku sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan mereka. Pikiranku masih menggantung ke mana-mana. Terutama ke Arun.

Bagaimana dengan dia saat ini? Arun pasti melihatku saat aku masuk ke dalam mobil kakak Illana. Apa yang ada di pikirannya saat tadi? Meskipun Arun tidak mengatakan apapun, tapi aku mengerti bahwa dia ingin pulang bersamaku. Ah, aku pun sebenarnya juga lebih ingin pulang bersamanya. Jika saja aku lebih memilih bersama Arun, pasti saat ini aku sedang ada di atas boncengan motornya.

"Tha?" panggil Illana. Seketika lamunanku buyar. "Makanannya, kok, dianggurin? Nggak suka?"

Aku mengerjap. Tanpa sadar sedari tadi aku hanya mengaduk-aduk steak yang dipesankan Illana tanpa minat. Jujur rasanya kurang pas lidahku, rasa saus dan dagingnya yang menurutku kurang matang.

"Enak, kok," jawabku bohong sambil menyuap sepotong daging ke dalam mulut.

"Sudah. Kalau nggak enak, jangan dipaksa makan," kata Kak Ivan yang melihat ekspresi makanku yang terkesan dipaksakan. "Kamu, sih, Lan. Pesan steak yang medium rare, kenapa nggak yang well done saja, sih?" omelnya, kali ini ke Illana.

Illana yang diomeli hanya mengerucutkan bibirnya. "Mana aku tahu kalau Bitha nggak suka, Kak?"

Kak Ivan lalu mengalihkan perhatian kepadaku. "Ganti yang lain aja, ya? Kamu suka makanan apa?"

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang