(Name) terlonjak kaget saat mendengar suara pintu depan yang dibanting. Dengan cepat (Name) mengambil pistol yang berada di dekatnya dan perlahan keluar dari kamar Dazai. Kemudian (Name) sedikit mengintip dari kamar Dazai, dan dirinya sedikit lega saat dapati yang berada di depan pintu adalah Dazai—bukan orang lain. (Name) menurunkan tangannya yang memegang pistol, kemudian berjalan mendekati Dazai.
Saat mendengar suara langkah kaki yang pelan—yang dia yakini adalah langkah kaki (Name), Dazai mengangkat wajahnya dan melihat ekspresi (Name) yang awalnya khawatir, berubah menjadi ekspresi syok.
Siapa yang tidak syok saat melihat wajah seseorang yang hampir menangis? Terlebih lagi ekspresi itu ditunjukkan oleh Dazai?
"(Name) ...," panggil Dazai hendak berjalan mendekati (Name).
Tapi tiba-tiba Dazai tersandung, membuat (Name) dengan refleks menangkap Dazai. (Name) kemudian berusaha membawa Dazai ke sofa, dan mendudukkannya disana. Setelah yakin bahwa Dazai sudah duduk dengan nyaman, (Name) pun memutar tubuhnya untuk mengambilkan segelas air untuk Dazai.
Namun Dazai mengenggam tangan (Name)—menghindari (Name) berjalan lebih jauh.
"Jangan pergi," hanya itu yang Dazai ucapkan.
Saat (Name) membuka mulutnya untuk berbicara, tiba-tiba Dazai menariknya mendekat agar (Name) duduk di pangkuannya lalu memeluk (Name) dengan erat—terlalu erat sampai (Name) merasa sesak. Tapi (Name) mengabaikan rasa sesaknya, karena Dazai lebih penting. Dazai menenggelamkan wajahnya di bahu (Name).
"(Name) ... apa yang harus kulakukan?" gumam Dazai.
(Name) dapat melihat tubuh Dazai yang gemetaran.
"Odasaku ... dia meninggal, (Name)."
Iris (Name) melebar—kini tahu alasan Dazai terlihat begitu berantakan dan ingin menangis. (Name) sering bertemu dengan Odasaku karena Dazai sering membawanya ke Bar Lupin, dan disana juga dia bertemu dengan Ango. Tapi dari beberapa kali pertemuan, (Name) tahu bahwa Odasaku lah satu-satunya orang yang mengerti Dazai.
Mata (Name) sedikit berair, karena dia juga berteman dekat dengan Odasaku.
Tapi kemudian (Name) menggeleng pelan—dia tidak boleh ikut emosional. Jika dia emosional maka tidak ada tempat bagi Dazai untuk menampung semua perasaannya. Kedua tangan kecil (Name) terangkat, kemudian tangan kananya mengelus kepala Dazai dan tangan kirinya mengusap punggung Dazai. Napas Dazai terdengar tidak beraturan—terdengar seperti dia berusaha untuk tidak menangis. (Name) yang mendengar napas Dazai perlahan membuka mulutnya.
"Tidak apa-apa, kau boleh menangis, Dazai. Tidak ada yang melarangmu."
Seketika tubuh Dazai menegang, dan perlahan Dazai mendorong pundak (Name)—untuk dirinya melakukan kontak mata dengan (Name). Tampak ekspresi kaget terlukis di wajah Dazai.
"... apa aku terlihat ingin menangis?"
(Name) tersenyum kecil, mengusap pipi Dazai yang masih menatapnya, kemudian mengangguk kecil. Dazai terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya kembali memeluk (Name)—tapi dapat (Name) pastikan bahunya mulai terasa basah.
Dazai menangis dalam diam—menangisi kepergian satu-satunya teman yang mengerti dirinya.
Tidak ada suara yang keluar dari Dazai, ataupun dari (Name). Dazai hanya mengeratkan pelukannya pada (Name), sementara (Name) mengelus rambut dan punggung Dazai.
(Name) hanya menatap jendela yang ada di hadapannya—dimana langit menunjukkan perpaduan antara warna orange dan ungu, membuat (Name) tersenyum sedih.
Langitnya terlalu indah, seolah tidak mengerti kesedihan yang sedang dia dan Dazai rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Special] My Silent Fiancée (Dazai Osamu)
Fanfiction• Mafia!Dazai × Silent!Reader • Kata-kata bukanlah segalanya, oleh karena itu dia memilih untuk tidak banyak berbicara. Namun, tiap kata yang diucapkannya, akan selalu kuingat dan kujaga seperti harta karunku sendiri. (Dazai Osamu version) (My Silen...