[9]

6.4K 906 34
                                    

Langit sore kini hampir habis, digantikan oleh langit malam. Namun Dazai dan (Name) belum bergerak dari posisi mereka, masih pada Dazai yang memeluk (Name)—walaupun pelukannya sudah tidak seerat sebelumnya.

Dazai sudah selesai menangis, karena dapat (Name) lihat tubuh Dazai sudah tidak gemetaran.

(Name) perlahan menurunkan kedua tangannya, kemudian memegang kedua tangan Dazai—memintanya untuk melepaskan pelukannya.

Dazai yang mengerti maksud (Name), langsung menjauhkan wajahnya dari bahu (Name), kemudian menatap (Name) lama.

(Name) hanya tersenyum—menandakan dia tidak akan lama, dan itu membuat Dazai melepaskan pelukannya dengan ragu.

Saat dia sudah terbebas, (Name) langsung berdiri dan berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian, (Name) kembali dengan membawa segelas air dan meletakkannya di atas meja yang ada di depan Dazai.

"... terima kasih," ucap Dazai, tapi dia justru menarik (Name) kembali ke pangkuannya dan melakukan hal yang sama sebelumnya: kepala di bahu (Name) dan kedua tangannya memeluk pinggang (Name).

(Name) hanya menghela napas lalu melakukan apa yang juga dia lakukan sebelumnya.

Namun (Name) langsung tersentak kaget saat tiba-tiba Dazai mengeratkan pelukannya, dan Dazai tampak tak tahu dan tak peduli dengan itu.

"Kau tahu, (Name)," ucap Dazai memulai, "apapun yang kudapatkan—entah apapun itu, aku pasti akan selalu kehilangan hal itu."

(Name) mulai merintih kesakitan—tapi sepertinya Dazai sedang tidak tenang, sampai dia tidak bisa mendengarkan suara kesakitan (Name), dan justru semakin mengeratkan pelukannya.

"Dan aku merasa ... aku juga akan kehilanganmu."

Tiba-tiba (Name) mendorong kedua bahu Dazai—agar laki-laki itu melihat wajahnya. Dazai berkedip beberapa kali, dan dia langsung panik saat menyadari tindakannya.

"(Name), a-aku tidak bermaksud untuk melukai—"

Ucapan Dazai terpotong saat bibir (Name) menyentuh bibirnya—membungkam laki-laki itu. Setelah beberapa saat, akhirnya (Name) melepaskan ciuman mereka.

Dazai masih terlihat terkejut, baik itu karena dia tak sengaja membuat (Name) kesakitan ataupun karena (Name) menciumnya tiba-tiba.

(Name) yang melihat ekspresi Dazai hanya bisa tersenyum kecil, lalu membuka mulutnya.

"Aku mencintaimu, Osamu Dazai. Jadi tenang saja, aku tidak akan menghilang darimu."

Kemudian (Name) memeluk Dazai, dan itu membuat Dazai semakin terkejut.

"... (Name), apa kau serius mengenai ucapanmu barusan?"

(Name) mengangguk, membuat sorot mata Dazai melembut.

Ini pertama kalinya (Name) bilang kalau dia mencintai Dazai.

Memang mereka bertunangan, tapi itu karena Dazai memerintahkan (Name) untuk bertunangan dengannya (ya, mereka tidak pacaran sebelumnya), dan (Name) menyetujuinya. Mereka bertingkah seperti pasangan pada umumnya. Bahkan apartemen Dazai sudah seperti rumah kedua bagi (Name)—seperti sekarang.

Namun, tidak ada pengakuan secara verbal diantara mereka berdua, seolah kata-kata itu adalah hal sakral—sampai detik (Name) mengatakan bahwa dia mencintai Dazai.

Dazai membalas pelukan (Name), dan menyandarkan kepalanya kembali ke bahu (Name).

"Aku juga, (Name). Aku juga mencintaimu—jadi jangan menghilang dariku."    

[Special] My Silent Fiancée (Dazai Osamu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang