Story #1: Secret Admirer

319 49 9
                                    

"Satu-satu, aku sayang Kakak..."


Park Jisung as Adinda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Park Jisung as Adinda



Namaku Adinda, tapi aku laki-laki.

Mungkin usiaku masih muda, sehingga belum terlalu kentara kelelakianku. Tapi, hei, suaraku sudah berat, jakunku terlihat, tubuhku tinggi, dan aku sudah...ehm, mimpi dewasa. Tubuhku memang kurus untuk usiaku, tetapi aku tinggi. Yah, intinya aku sudah seperti laki-laki, ya kan?

Hanya saja, ugh, kenapa Bunda harus menamaiku Adinda, sih? Aku sering sekali diledek oleh teman-temanku karena namaku. Katanya, biasanya yang dipanggil Dinda itu perempuan, kenapa aku dinamai seperti itu? Hei, mereka tidak tahu saja. Padahal namaku cukup lelaki, lho! Adinda Satrya Nagari. Keren, bukan? Ah, jadi bahas namaku.

Hei, ini bukan cerita tentang namaku. Ini cerita tentang seorang perempuan.




Aku tidak terlalu suka belajar. Tidak suka pelajaran di dalam kelas, lebih tepatnya. Aku selalu suka saat jam olahraga, karena aku bebas berlarian, main bola, main basket, main apapun yang aku suka. Well, memang tergantung materinya sih. Tapi intinya aku tidak ada di dalam kelas yang bikin ngantuk. Pelajaran di dalam kelas, apapun bentuknya, selalu membosankan. Bahkan ketika gurunya mulai sok asik menjelaskan materi, membuat murid-murid lain tertawa, aku hanya bisa mendengus saja. Kalau bosan ya bosan, tidak bisa diutak-atik.

Bunda mulai putus asa melihat nilaiku yang timpang, bagus di mata pelajaran olahraga, sisanya tiarap. Aku hanya menunduk kesal, sudah kebal telinga ini dimarahi Bunda. Ayah juga sudah lelah memarahiku, memotong uang jajanku, memotong waktu mainku, segalanya sudah dilakukan. Peningkatan tidak kunjung mereka lihat. Aku tetap suka main, colong-colong waktu, memanfaatkan uangku sebaik mungkin, pintar-pintarlah aku mencari celah. Sampai Bunda dan Ayah bingung, ini anak bikin bangga atau bikin kesal ya, jadinya?

"Dinda harus les." Sabda Bunda.

"Tidak mau." Jawabku lugas. Hei, les? Berarti waktu mainku yang sedikit berkurang, dong!

"Sudah dipesankan guru privat," imbuh Ayah. "Dua kali seminggu, ya, Dinda. Kalau nilaimu naik, uang jajan dan waktu mainmu dikembalikan."

Mataku seketika cerah, aku segera berhitung di dalam kepala. Lumayan, bukan, kalau uang jajanku dan waktu mainku dikembalikan? Lumayan kan! Aku hanya perlu meningkatkan nilai. Sebetulnya aku bisa-bisa saja meraih nilai tinggi, bukannya sombong, begini-begini aku cukup cerdas. Hanya saja aku memang tidak terlalu menaruh minat pada pelajaran di kelas.

"Call!" jawabku, antusias. Ah, uang jajan, kebebasan, mungkin beberapa barang baru? Ada jaket yang kuinginkan—


Fragmen [NCT 2018]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang