18. the best Grandma

233 10 0
                                    

Kanaya tengah disibukan dengan tumpukan buku tebal ditangannya, dia berjalan di koridor dengan langkah tak beraturan, ada Bagas yang memperhatikannya sedari tadi dari balik pintu perpustakaan.

Tak ada keberanian untuk membantunya, cowok itu sudah terlanjur menjauhinya. Bagas terlalu gengsi dan tak punya alasan untuk dia katakan jika Kanaya bertanya mengapa dia kembali mendekati dirinya. Padahal mudah saja Bagas hanya perlu mengatakan kalau dia tak bisa jauh-jauh dari Kanaya, namun gengsinya terlalu tinggi untuk mengatakan itu. Disaat semua cewek bersedia berlutut hanya untuk menjadi pacarnya mengapa Kanaya justru mengabaikan perasaannya? Dan Bagas rasa itu menyakitkan.

'Bruk!'

Langkah Bagas yang sedari tadi kaku kini justru melangkah cepat menghampiri punggung Kanaya yang sudah tersungkur, namun kakinya bagai kembali terbelenggu ketika Arkan lebih cepat menolong Kanaya dari arah depan. Dengan sigap Arkan membereskan buku-buku tebal itu dan membawanya dalam satu tangan,  sementara tangannya yang lain berusaha membangunkan Kanaya dengan memeluk pinggangnya membuat mau tak mau Kanaya harus merangkul bahu Arkan sebagai tumpuan.

"Kakinya sakit?" Tanya Arkan menurunkan pandangan pada kaki Kanaya yang berjalan tertatih.

Kanaya hanya membalasnya dengan anggukan tanpa menghilangkan ringis kesakitan diwajahnya.

"Ya udah ayo, kita ke UKS."
Arkan semakin mengeratkan pinggang Kanaya dan memapahnya menuju UKS.

Sementara di belakang, Bagas mendecih sebal melihat adegan yang menurutnya terlalu dramatis untuk ditonton. Dia berbalik meninggalkan koridor membawa segala rasa cemburu yang menggebu.

"Eh tunggu,tunggu." Kanaya menghentikan langkahnya di ambang pintu UKS membuat Arkan mengernyit bingung dan menatap Kanaya dari samping. Arkan menelan ludah, baru menyadari kalau dia bisa sedekat ini dengan Kanaya, sampai-sampai dia bisa mencium aroma stroberi menguar dari tubuh gadis itu.

"Mending gak usah ke UKS deh." Kanaya sama sekali tak menyadari kalau Arkan tengah memandangnya begitu dekat saat ini.

"Kenapa?" Tanya Arkan sambil mengernyitkan dahi, napas hangatnya mengusap lembut pipi Kanaya membuat gadis itu sontak mengalihkan tatapan pada  orang di sampingnya. Mata mereka bertemu selama beberapa detik, begitu dekat sampai tak menyisakan jarak.

Seolah ada bunyi alarm dikepalanya Kanaya mengerjap menyadari apa yang dilakukannya. Hatinya terasa bergetar bak genderang ditabuh mendapatkan tatapan teduh itu.
"Sorry." Ucap Kanaya canggung. Dia menurunkan tangannya yang sedari tadi tertumpu pada bahu Arkan, lantas melepaskan lingkaran tangan Arkan di pinggangnya juga mencoba menetralisir detak jantungnya yang berdenyut lebih cepat dari biasanya, pipinya juga merasa panas, tanpa melihat cermin pun dia yakin kalau saat ini ada rona merah di pipinya.

Arkan menahan tangan Kanaya yang selanjutnya hendak meraih buku-buku tebal ditangannya.
"Kenapa gak mau masuk UKS? Kan kaki kamu sakit."

"Kakiku ini perlu di urut. Lah, percuma dong aku ke UKS kalo gak ada yang ngurutnya juga."
Jelasnya sambil kembali mencoba meraih buku dari tangan Arkan yang lagi-lagi ditahan oleh cowok itu.

"Yaah... sayangnya aku gak bisa mijit." Arkan mengerucutkan bibir
" Tapi kamu tenang aja, nanti kamu ikut aja ke rumahku nenekku bisa mijit kok."

"Enggak usah, tetanggaku ada yang bisa mijit juga kok."
Lagi-lagi tangannya hendak meraih buku namun untuk kesekian kalinya Arkan tak mengijinkan Kanaya mengambilnya.
"Sekarang balikin buku-buku itu."

"Gak mau," Arkan mendekap erat buku-buku itu.
"Kecuali kalau kamu mau ikut ke rumah nenekku."

Kanaya memutarkan bola mata jengah.
"Iya, iya deh. Nanti aku ikut." Ucapnya lagi tanpa berpikir seolah malas berdebat dengan Arkan karena saat ini dia sedang diburu waktu, ada bu Darwati yang sedang menunggunya di kelas.
"Sekarang sini, balikin buku-buku itu."

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang