↭
"Terima kasih," kata Fatimah pelan kemudian membuka pintu mobil yang ia naiki.
Kean hanya mengangguk sekilas, kemudian tatapannya beralih pada Fatimah yang sudah berjalan jauh memasuki sebuah rumah kayu sederhana. Kean menatap Fatimah lama, gadis itu masih setia mengetuk pintu rumahnya. Sepertinya, tak ada satupun orang-orang di dalam rumah yang menyahut mendengar ketukkan pintu Fatimah.
"Kita pergi sekarang, Tuan?" tanya Rangga yang masih setia duduk di bangku kemudi depan.
Kean mengangkatkan tangannya, memberikan isyarat pada Rangga agar tetap diam sambil tatapannya tak teralihkan dari Fatimah. Dari sudut matanya, Kean melihat jika Fatimah mulai kelelahan mengetuk pintu rumahnya karena setelah lama ia mengetuk, tak kunjung ada yang sekedar bangkit untuk membukakkan pintu bagi gadis itu untuk masuk. Kean melihat, Fatimah kemudian menghela napas pelan, sambil berjalan menuju kursi yang ada di sudut rumahnya yang dipagari. Gadis itu, kemudian duduk di sana sambil menyenderkan tubuhnya pada kepala kursi dengan tangan yang bersidekap.
Melihat itu, Kean menghela napas kasar. Entah kenapa, rasa iba selalu menyelimuti hatinya melihat kehidupan Fatimah. Bekerja keras seharian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, namun ketika pulang bahkan tak ada yang berniat menyambut kedatangannya.
Kean melirik sejenak pada jam tangan hitam yang terpakai di tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ia, kembali mengalihkan tatapannya pada Fatimah yang masih setia duduk sambil menyenderkan tubuhnya pada kursi. Entah hanya penglihatan Kean yang mulai kabur karena rasa kantuk, atau memang benar jika, Kean melihat Fatimah menghapus sesuatu yang meluncur dari kedua matanya. Fatimah, gadis itu menangis?
Kean, mengalihkan tatapannya pada Rangga yang masih setia diam sambil menunggu perintahnya. "Rangga, keluarlah."
Rangga menoleh dan menatap Kean yang duduk di jok belakang. "Maaf, Tuan?"
"Keluarlah, dobrak pintu rumah itu. Biarkan Fatimah masuk ke dalam rumahnya," titah Kean sambil menatap lurus ke arah Fatimah.
Mendengar perintah Tuannya itu, Rangga tampak kebingungan. Namun, tak ingin membuat Kean emosi, akhirnya Rangga bangkit dan berjalan keluar.
↭
Fatimah mendesah pelan, setelah sekian lama ia mengetuk pintu, bahkan berteriak memanggil nama Kakek dan kedua Kakaknya, tak ada satupun yang menyahut untuk sekedar membukakkan pintu untuk Fatimah.
Fatimah menghela napas pelan. Sungguh, ia sudah tidak bisa menahan rasa lelah di tubuhnya, Fatimah ingin istirahat. Merasa pegal menunggu di depan pintu, Fatimah akhirnya memilih duduk di kursi yang ada di pojok pagar rumahnya. Ia, duduk perlahan, kemudian menyenderkan tubuhnya pada kepala kursi dengan tangan bersidekap di depan dada. Entah harus sampai kapan Fatimah seperti ini, bukan hanya sekali dua kali ia tidur di luar ketika ia pulang malam, karena Kakek dan kedua Kakaknya enggan untuk sekedar membukakkan pintu untuknya.
Tapi hari ini, Fatimah sungguh lelah. Mengingat seharian penuh ia bekerja tanpa istirahat. Mulai dari berjalan kaki menyusuri komplek-komplek perumahan untuk menjadi seorang kuli cuci, hingga kembali bekerja di restoran yang mengharuskan Fatimah pulang di malam selarut ini. Sebelumnya, mungkin bisa saja Fatimah tidur di luar mengingat ia hanya kerja di restoran, tapi sekarang, Fatimah sudah benar-benar lelah dan ingin istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Love [Sudah Diterbitkan]
Romance©2018 Story by Dallas_93 . . . . --- (SUDAH DITERBITKAN) Pemesanan novel bisa langsung ke shopee Cahaya Publisher (cahaya_bookstore) Bai'at cinta. Ketika Ia sudah berbai'at atas cinta yang telah digenggamnya. Memberikan semua yang ada pada dirinya...