Siang itu, terik matahari menghujam tanpa ampun salah satu sudut kota kami. Seorang bocah yang kutaksir berumur belasan tampak beredar di seputaran jalanan simpang empat kota ini. Dia memang bukan satu-satunya pengamen yang biasa sibuk menggoyangkan berbagai alat musik ajaib di jalanan ini. Ada beberapa anak lain yang bahkan umurnya lebih muda darinya. Namun sejak hari itu, setiap kulewati jalanan ini, mataku tak pernah luput mengabsennya.
***Hari itu aku memutuskan naik angkutan umum untuk pergi ke kantor. Sebab tak mungkin kupaksakan membawa motor yang bannya kempis untuk ke kantor. Sementara tak mungkin pula aku harus membawanya ke bengkel sebelum berangkat ke kantor. Bisa jadi ketika tiba di kantor, waktu istirahat siang sudah melambai-lambai.
Naik angkot ke kantor artinya aku harus menyiapkan ongkos dan waktu tambahan dari hari biasa. Sebab naik angkot membuatku harus melalui rute memutar dengan dua angkot yang berbeda. Terlebih jalanan yang menjadi ruteku tak pernah sepi dari lalu lalang kendaraan. Hampir selalu macet saat jam berangkat dan pulang kantor tiba.
Maka sore itu, aku yang biasanya sudah tiba di kosan, kali ini masih berteman dengan hiruk pikuk jalanan serta orang-orang yang juga menunggu angkot.
Satu-dua tampak sibuk menggeser-geser layar gawainya. Satu-dua menggenggamnya dalam pangkuan sembari memusatkan pandangan pada jalanan. Beberapa yang lain hanya termangu sibuk berkelana dalam isi kepala masing-masing. Sisanya terbahak, saling sikut, dan melempar gurauan yang bahkan sudah ditertawakan bersama saat ceritanya belum diselesaikan. Sudah pasti mereka adalah sekelompok teman yang saling mengenal. Sedangkan aku, hanya mampu mengawasi mereka dengan harapan salah satu dari mereka pergi dari tempat yang ia duduki. Maka dengan bahagia akan kugantikan posisi mereka itu.
Puasa. Berdiri dengan menggendong tas berisi laptop dan beberapa file kantor yang tak ringan. Juga subuh tadi yang tak sempat sahur karena bangun kesiangan. Ternyata mampu membuat dua kakiku kini bergetar. Kusandarkan bahuku pada salah satu tiang halte, mencoba meringankan tugas kedua kakiku menopang seluruh berat tubuhku sore itu. Sambil sesekali kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, berharap waktu berbuka segera tiba. Paling tidak bisa kutandaskan isi dalam botol yang sedari tadi kuremas-remas ujungnya. Mengobati kerongkongan keringku yang sudah enggan dilalui air liurku sendiri.
"Beberapa menit lagi," ucapku menghibur dalam hati.
Benar saja, tak lama kemudian terdengar sayup suara adzan dari kejauhan. Kemudian bersambung suara adzan lain yang --sepertinya-- lebih dekat dari sini.
"Alhamdulillaah," seruku bahagia. Segera kusambut botol dalam genggamanku dan memutar tutupnya.
"Bismillahirrahmanirrahim," sebutku dengan ujung bibir botol sudah menyentuh bibirku.
Tiba-tiba ...
"Aaahhhh .... Hey! Liat-liat dong kalau jalan!"
Seseorang berjalan tergesa di depanku, menyenggol botol yang tinggal sedetik lagi isinya berpindah tempat ke lambungku. Nahas, botol terjatuh dan seisinya tumpah ruah. Membasahi sisi depan bajuku, sisanya berhambur membasahi lantai tempatku berdiri.
Aku mengumpat dalam hati. Percuma juga aku menggerutu. Toh, orang itu berlalu masuk ke dalam taksi tanpa menoleh kepadaku. Mungkin juga dia tidak tahu. Dan yang jelas dia tidak sengaja.
Kutarik napas dalam kemudian kulepaskan. Mencoba menghalau segumpal sebal yang sempat ada.
"Ini, Bang."
Ujung botol tampak menunjuk wajahku. Kugeser kepalaku mencoba melihat tangan siapa yang mengulurkan botol itu.
Tampak gadis kecil dengan baju kumal dan membawa batangan kayu dilengkapi susunan tutup botol yang sudah menghitam, menyunggingkan senyumnya ke arahku. Kutatap ia dengan sorot kebingungan."Tenang, Bang. Ini masih bersegel. Belum aku minum kok. Aku liat tadi waktu botol Abang jatuh. Aku dapat ini dari sana, tadi ada yang bagi-bagi makanan buka," jelasnya sambil menunjuk sebrang jalan masih dengan senyum yang menghiasi ucapannya.
"Oh... Emm... Terima kasih dek. Nanti Abang bisa beli sendiri," balasku.
"Bang, kata pak kyai di masjid sono, kita ngga boleh nolak rezeki. Ini rezeki buat Abang dari mas-mas tadi yang Allah kasi lewat aku, Bang. Udah Abang terima aja, Bang. Kalau aku paling tar malem abis tarawih ada lagi yang muter bagi-bagi makanan lagi, Bang. Santai aja," tuturnya.
"Hmm... Baiklah kalo kamu maksa. Abang terima ya.... Semoga makin banyak rezekimu ya, Dek."
"Aamiiin," timpalnya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku tertegun. Masih memandanginya hingga bayangnya benar-benar hilang di balik hiruk-pikuk jalanan kota. Rasa haru menyelimuti. Anak yang mungkin jauh dari kata cukup dari segi finansial, ternyata masih mau berbagi rezekinya untuk orang yang sebenarnya jauh lebih baik cukup darinya.Dan senyum itu, seperti buliran air dingin yang menyiram rongga dadaku. Menyalurkan rasa sejuk di tengah panasnya wajah-wajah dewasa yang seringnya acuh terhadap orang lain.
***
Sejak hari itu, jika memungkinkan, aku akan menyempatkan untuk bertegur sapa dengannya. Dia yang kemudian kutahu bernama Rumbai.