'BRUKKK'
"Buku gue!"Aku mendengus tertahan, empat buku paket yang kemarin kupinjam dari perpus, begitu saja jatuh pada genangan keruh akibat hujan tadi malam.
Pria yang menabrakku itu terlihat mencengram pinggir rambutnya panik, sesekali menengok arloji yang melingkar pas ditangannya sambil menyurat raut takut.
Entah takut karena terlambat atau takut menjadi buah bibir karena kesiangan datang, padahal ia salah satu siswa yang menjadi petugas hari ini.
"Maaf woi maaf."
Suaranya tiba-tiba memecah kemungkinan yang terbentuk dikepalaku seperkian detik tadi.
Belum sempat ku sahuti, pria pemilik lesung itu sudah berlalu pergi, sambil berlari dengan wajah yang terlihat sangat frustasi.
"Dasar manusia."
"Ray, gak papa?" Itu suara Nayla yang tengah memakai rompi PMRnya. Dia memang siswa paling tak tau waktu.
Bahkan datang kesekolah sesiang ini sudah menjadi hal paling biasa, terlebih gadis yang kini membantuku memunguti buku-buku paket itu adalah anak paling manja dan tak ingin diatur oleh siapapun.
"Gak papa kok, cuma buku-bukunya aja pada kotor."
"Yahh."
Aku tersenyum "Gak papa, Nay."
-------------
'Kepada bendera merah putih, hormat grak!'
lagu kebangsaan mengalun khidmat, sedang aku masih sibuk berlari dibarisan belakang dengan mengendap-endap agar tak tertangkap guru piket yang ditakdirkan Tuhan menjadi manusia paling galak.Peluh jelas bercucuran di pelipis, kulempar tas asal ke arah Nayla yang sengaja berjaga di barisan kelasku, lalu anak itu tersenyum manis sambil mengacungkan jempolnya.
Ya Tuhan, hari ini. Aku layak anak brandalan paling licik yang menghindari hukuman atas kesalahku sendiri.
"Baris Ray, baris!"
Aku terkekeh geli, wajah panik dari Nayla membuat urat tawaku tergelitik. Tanpa menyahut, aku langsung mengambil langkah cepat menghadap ke arah sang saka, lalu menghormat dengan wajah yang kupasang senormal mungkin.
Upacara berlangsung lancar dimenit-menit pertama. Hingga tanpa diduga, teman yang berbaris disampingku pingsan dengan wajah sangat pasinya.
Aku kaget? Jelas. Bingung harus berbuat apa selain berteriak.
Lalu suasana menjadi kisruh. Wajah-wajah panik tergambar jelas. Berlangsung dalam periode sangat cepat, tubuh lesu anak yang bernama Lisa itu dibopong banyak orang.
Aku menyeka peluh. Memang matahari pagi ini bersinar amat sangat panas membakar tubuh.
Juga, pembina upacara yang menyampaikan amanat sangat panjang, membuat beberapa siswa nakal mendeklarasikan sumpah serapah andalan mereka.
"Panas."
Aku menunduk lesu, namun tiba-tiba kepalaku menjadi teduh. Kutolehkan pandangan ke samping, dan disana, ditempat Lisa berdiri tadi, terdapat pria berlesung itu tengah menaungi kepalaku dengan kedua telapak tangannya.
"Apa?" Dia bertanya ketika tatapanku tak lepas barang sedetikpun.
"Ngapain?"
"Katanya panas."
"Ha?"
Dia tersenyum "Tadi, lo bilang panas kan?"
Aku menghela nafas "Jadi lo ada disamping gue?"
"Lo bisa anggap gitu, kalo lo mikirnya juga gitu."
Aku menepis tangannya, tak enak pada orang-orang yang memperhatikan kami sedari tadi.
"Kok?" Dia bercicit lagi.
"Udah gak panas."
"Kalo nanti lo ikutan pingsan gimana?"
"Gimana?" Aku menoleh kearahnya, "gimana tuh nasib buku yang tadi lo jatohin sampe kotor itu?"
Dia terkekeh pelan. "Maaf ya."
Aku lagi-lagi menghela nafas, "hm."
"Pasti gak ikhlas."
"Ikhlas."
"Ikhlas kok ngomongnya pake nada ngotot?"
"Siapa yang ngotot?"
"Orang yang gitu aja narik perhatian gue."
Aku diam.
"Lo pengen tau sesuatu gak?"
Aku masih diam, tak tahu kah dia bahwa pelaksanaan upacara tak boleh ada satupun orang yang berbicara?
"Nama gue Jagat. Kalau pengen tau nama lengkapnya, nanti ya. Soalnya masih dirahasiain."
"Lo?!" Aku membentak kesal.
"Gue manis, makasih."
YOU ARE READING
JAGATRAYA
Teen FictionDan ini, untuk yang sempat memberiku makna, bahwa bahagia sesederhana kau tersenyum tulus pada pahitnya semesta.