"Terkadang, sebuah perasaan bisa membuat seseorang menjadi sangat bodoh"
---
"Sungguh, aku tidak apa-apa." Aku berkali-kali berkata pada Jinyoung yang mengobati luka di tanganku.
Ia berdecak kesal atas sikapku yang keras kepala lalu bersikeras mengobati lukaku. Padahal tanganku hanya terkena pecahan pot bunga. Lukanya pasti tidak terlalu dalam.
Bukannya aku tidak suka Jinyoung mengobati lukaku. Aku hanya tidak mau diperlakukan seperti anak kecil.
Tapi ya sudahlah. Daripada aku membantah dan Jinyoung malah memarahiku, lebih baik aku menurut.
"Nah, sudah." Jinyoung melepas genggamannya pada lengan tangan kiriku yang kini sudah diperban.
"Lain kali jika perlu bantuan, bilang saja. Jangan sok bisa." Ia mulai mengomel, membuatku mencebikkan bibirku.
Park Jinyoung itu manis. Meskipun kadang menyebalkan, tapi aku tidak pernah bisa menahan senyumku setiap kali melihat mata bulatnya.
Ia juga lelaki yang baik. Dia sering sekali datang ke toko bunga milik ibuku untuk sekedar bantu-bantu.
Dan jika ada diantara kalian berpikir aku menyukai Jinyoung, maka aku tidak akan menyangkal. Karena faktanya memang begitu. Oh ayolah, berteman dengan seorang lelaki sebaik dan semanis Jinyoung, mustahil tidak memiliki perasaan apapun.
Tapi masih ingat kalimat "tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan"? Aku sadar maksud kalimat itu. Mungkin saja aku akan kehilangan dia sebentar lagi. Apalagi belakangan ini Jinyoung dekat dengan seorang rekan kerjanya, membuatnya jadi sedikit jarang kemari.
Apapun itu, aku hanya berharap dia tidak menjauh dariku. Kuharap ia tetap berada disisiku, mengobrol akrab denganku, dan memarahiku jika terjadi sesuatu padaku.
"Ya, kau melamun?!" Aku terperanjat untuk sesaat saat Jinyoung menggoyangkan tangannya di depan wajahku.
"Siapa yang melamun?" sangkalku cepat.
Jinyoung tersenyum menanggapi ucapanku. Membuat sebuah kerutan samar di kedua ujung matanya. Manis sekali.
"You're not a good liar, Girl," katanya masih dengan senyum yang belum pudar.
Yeah, I know. Selama ini tidak ada satupun hal yang bisa kusembunyikan dari Jinyoungㅡselain perasaanku mungkin.
"Jinyoung-ah, kau tadi bilang jika aku butuh bantuan tinggal bilang saja, kan?" Daripada menanggapi ucapan sarkastisnya, aku lebih memilih mengalihkan pembicaraan.
Jinyoung membuat suara dengungan untuk mengatakan "tentu" padaku. Aku pun melanjutkan, "Kau tidak perlu membantuku apa-apa hari ini. Kau tidak perlu membantuku mengangkat pot bunga atau melayani pelanggan. Kau cukup duduk disini sampai toko bunga ibu tutup. Bisa?"
Selang beberapa detik setelah aku mengatakannya, Jinyoung langsung tertawa terbahak-bahak. Ia menekan perutnya dengan sebelah tangannya sambil sesekali mengacak rambutku.
Dia mulai menganggapku anak kecil lagi.
"Aku serius. Itu permohonanku atas bantuan yang kau tawarkan," kataku meyakinkan.
Tapi Jinyoung belum selesai dengan tawanya. Hampir satu menit lebih aku menunggu tawanya lerai. Baru setelah mengusap setitik air mata di ujung matanya, ia berkata, "Kau sangat merindukanku, ya?"
Iya, sangat!
"Tidak sama sekali!"
"You're lying again!"
KAMU SEDANG MEMBACA
An Ending Scene
Conto"Semua kepingan cerita ini memiliki akhir. Yang kulakukan hanyalah menyusun kepingan cerita ini untuk menemukan jalan menuju endingnya. Kuharap ending scene yang di tampilkan disana adalah ending yang diharapkan semua orang." Mini stories yang cocok...