PENDAR 1

34.6K 3.1K 126
                                    

Aku menarik ujung kaus oblong kebesaran milikku, yang kini hanya mampu menutupi paha atasku. Warna kuningnya sudah berubah jadi coklat, lusuh karena entah sudah beberapa tahun aku tak punya cukup uang untuk berani membuang nya.

Di depanku kini berdiri anak lelaki yang kuyakin usianya jauh lebih banyak dariku. Seragam biru tuanya tampak tersetrika rapi, dan meski dengan topi yang ia kenakan diputar menghadap belakang begitu pula dasinya yang kini menghuni kantung kemejanya, anak lelaki ini tetap tampak sangat indah buatku.

"Ck...kamu mau berdiri sampe kapan sih?!", aku mundur selangkah hingga punggungku menempel tembok dibelakang. Memandangnya dengan perasaan sedikit cemas dan takut.
"Nyusahin emang nih, ayo buru pulang jangan bikin aku tambah kesel deh".

Rasanya aku ingin berteriak atau menghentakkan tanganku saat dengan kasar ia mencengkram lalu menggeretku pulang dengan penuh kesal. Tapi seperti biasa. Suaraku tertahan diujung tenggorokan. Suara yang telah lama hilang yang aku sendiri bahkan ragu apakah aku pernah memilikinya.

"Bun...bunda...."
Aku menelan ludah, menundukkan kepala sebisaku ketika melihat pintu kayu berwarna coklat dengan ukiran indah yang rumit. Pintu rumah anak lelaki yang kini masih mencengkram tanganku erat.

"Ya nak, ya tuhan kebiasaan pulang bukannya salam malah tereak-tereak, ini kamu masuk rumah lho bukan lagi main diterminal lagian aduh amit-amit kamu main di ter-....lho Jyontika kok disini?"

"Ni bocah abis diganggui anak gang bun, udah dikasi tahu nggak usah kesana masih ngeyel aja. Bunda urusin, kasi makan. Badan kerempeng baju rombeng gitu gimana nggak dikira gembel"

"Nak omonganmu it.... ya tuhan orang tua didengerin sampe selese ngomongnya"

"Ngantuk, siapa suruh maksa aku sekolah ditempet nggak berprikemanusiaan gitu. Apaan itu pelajaran dijejelin paksa ke otak dari pagi sampe sore. Itu bukan pembelajaran tapi penjajahan" . Setelah mengucapkan rentetan kalimat tajamnya anak lelaki itu berlalu setelah menghentak tanganku. Dia memang selalu seperti itu dan aku terbiasa ia perlakukan seperti ini.

"Ish anak itu bener-bener", Aku masih menundukkan kepala sangat takut untuk melakukan pergerakan apapun, rasa pahot yiba-tiba terasa menyebar ditenggorokanku. Hal yang biasa terjadi jika aku sedang gugup. "Eh maafin ibu ya Jyon. Sampe lupa tau sendiri Rajendra pinter banget bikin kesal. Oh ayook masuk kebetulan bi suri masih ada makanan, oya nanti sekalian bawain buat nenekmu ya"

Senyum ku tak pudar ketika kenangan itu kembali hadir meski aku sudah berusaha membuangnya jauh, mungkin sebagian dariku memang tak pernah ingin melupakannya.

Senyumku berubah menjadi kekehan ketika kaca buram karena dimakan usia dapur nenek tak bisa menghalangiku untuk melihat bagaimana anak lelaki yang dulu kerap bicara tajam namun hampir selalu ada untukku kini sedang menendang kesal vespa tuanya yang dari tadi sibuk ia otak atik.

"Idup nggak lo....idup elahhh, gue kiloin juga lo ntar". Dumelannya mungkin akan terdengar menakutkan ditambah dengan matanya yang sedang melotot sambil berkacak pinggang di depan vespa buntut itu. Tapi bagiku itu adalah hal lucu yang sangat menghibur. Setidaknya dengan cara inilah aku bisa melihatnya. Diam-diam. tanpa suara.

Suara teguran dari dalam rumahnya membuat anak lelaki yang kini telah tumbuh dewasa itu mengacak rambutnya kesal. Aku ingat bagaimana dulu rambut itu tersisir rapi kebelakang saat dia masih berseragam biru tua. Kini rambut itu memanjang dan diikat kebelakang dengan karet berwarna hitam, selalu hitam. Tidak ada seragam rapi. Kaus oblong dengan jeans biru pudar yang memiliki banyak sobekan menjadi pakaian sehari-harinya. Kadang kemeja kotak-kotak jika ia berpergian menggunakan mobil ibu Cithra, entah kemana.
Janggut yang memenuhi dagunya kadang membuatku berfikir bahwa dia tampak terlalu banyak berubah dengan yang kuingat dulu.

"Fix gue kiloin lho", aku melihat ia mengambil ponsel dalam saku celananya gerakannya terburu-buru dan sedikit kasar. Oh sedari dulu dia memang bukan tipe sabaran. Aku tahu dengan pasti. Karena sering menjadi korban ketidak sabarannya. "Hallo, Zan kirimin montir lo ke rumah, si blue ngambek lagi. Stress gue lama-lama...."

Aku menikmati bagaimana jemari tangannya menyentuh pelipis, mengurut dengan gerakan tak sabaran dan kesal. Bagaimana mulutya berdecak kesal karena sebal. Halaman belakang rumah kami yang memang tak dibatasi apapun membuatku dengan mudah mengintai aktivitasnya. Terasa menyedihkan memang, tapi dengan cara inilah aku bisa merasa dekat melihatnya. Ketika ia menutup panggilan telpon ada dan berbalik menuju pintu belakang rumahnya, ada rasa kecewa menderaku. Tidakah bisa lebih lama sedikit saja?

Aku baru akan meletakkan cangkir tehku ketika tiba-tiba ia berbalik dan memandang tajam ke arahku membuat tubuhku kaku ketika dengan sangat faham aku menangkap gerakan bibirnya berbicara padaku dengan ekspresi wajah angkuh yang meremehkan

"Si nyu-sa-hin tu-kang in-tip" seringai lebar di wajahnya membuatku meletakkan cangkir tehku dengan tangan gemetar lalu berbalik cepat menuju kamar. 8 tahun yang lalu ia pernah membuatku hampir pingsan karena kerja jantungku yang berlebihan, dan sekarang dia melakukannya lagi.

Rajendra Sarwapalaka Tarachandra....

PENDARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang