O5.

2K 178 36
                                        

Sudah hampir dua minggu Jiyeon dikurung di dalam kamar putih ini, tidak boleh keluar sama sekali. Hari-hari Jiyeon dilalui dengan menatap ke luar dari jendela lantai dua ke pekarangan rumah Chanyeol.

Jiyeon sudah merasa begitu muak dan frustrasi karena bosan. Setelah memaksakan kehendaknya malam itu, Chanyeol tidak pernah mengunjungi Jiyeon lagi.

Mungkin dia sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya. Jiyeon mencibir, mencoba mengabaikan perasaan seperti tercubit di dadanya. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa Chanyeol tidak melepaskannya?

Apakah karena lelaki itu tahu bahwa Jiyeon berniat membunuhnya, jadi dia menawan Jiyeon di sini karena menganggap ia sebagai ancaman yang berbahaya? Kalau begitu kenapa Chanyeol tidak membunuhnya sekalian?

Beberapa lama terpaku di jendela, Jiyeon menyadari bahwa ada kesibukan yang tidak biasa di luar sana. Beberapa mobil tampak lalu lalang keluar masuk rumah Chanyeol yang biasanya lengang. Sehari-hari pemandangan yang didapat Jiyeon hanyalah pemandangan pengawal-pengawal Chanyeol dan beberapa pelayan yang lewat di halaman depan rumah.

Kali ini Jiyeon melihat ada mobil bunga dan mobil katering. Apakah Chanyeol akan mengadakan pesta? Kalau iya, mungkin saja kesempatan Jiyeon untuk melarikan diri bisa muncul kembali.

Sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar putih membuka. Jiyeon bahkan tidak menolehkan kepalanya sedikitpun. Karena yang masuk ke kamar ini selalu hanya Chen yang mengantarkan makanan, dan pelayan yang membersihkan ruangan dan membawakan pakaian ganti untuknya - tentu saja di bawah pengawasan Chen.

Jiyeon tidak pernah berinteraksi dengan Chen lagi setelah kejadian kemarin dan sepertinya lelaki itu juga tidak berniat untuk mengajaknya berbicara. Lagipula rasa bersalah yang ditanggung Jiyeon terlalu besar. Karena dialah Chen dihajar oleh Chanyeol, bekas-bekas hajaran itu masih ada dari memar memar di wajah Chen dan hidungnya yang patah.

Setiap melihat Chen, Jiyeon disergap perasaan ngeri dan rasa bersalah yang luar biasa. Chanyeol mengancam akan membunuh siapapun yang lengah dan membiarkan Jiyeon lolos. Apakah sepadan mengorbankan satu nyawa demi meloloskan diri?

Jiyeon memang tidak kenal dengan Chen, tetapi kalau mendapatkan kebebasan dengan mengorbankan nyawa orang lain, tetap saja terasa tidak benar baginya.

"Jiyeon."

Itu suara Chanyeol. Jiyeon terlonjak saking kagetnya. Dia menolehkan kepalanya, dan Chanyeol-lah yang berdiri di tengah ruangan, lelaki itu tadi sepertinya terdiam, mengamati Jiyeon yang sedang melamun sambil memandang Jiyeon yang sedang menatap ke luar jendela.

Otomatis Jiyeon mengepalkan tangannya, reaksi impulsifnya ketika menyadari aura Chanyeol yang berkuasa memenuhi ruangan. Chanyeol melirik tangan Jiyeon yang terkepal, dan senyum sinis muncul di bibirnya. Lelaki itu menolehkan kepalanya ke belakang dan Jiyeon baru menyadari ada orang lain di belakang Chanyeol, seorang laki-laki berbadan kecil dan sedikit gemulai,
"Ini Joshua," gumam Chanyeol tenang, "Dia akan mempersiapkanmu untuk nanti malam," Setelah berkata begitu, Chanyeol melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar itu.

Mempersiapkannya untuk apa?

***

"Kau sebenarnya cantik sekali Nona, hanya saja kau tidak pandai berdandan," Joshua bergumam dengan suara gemulainya, memoles wajah Jiyeon yang masih memejamkan matanya di depan cermin.

Sementara Jiyeon masih memejamkan matanya, diam karena didandani oleh Joshua. Kalau Chanyeol menyuruhnya didandani, maka dia pasti akan diperbolehkan untuk turun ke pesta yang diadakan Chanyeol. Hal itu berarti ada kesempatan baginya untuk melarikan diri dari rumah ini.

Sleep With The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang