monster lumpur

31 3 4
                                    

     “Kamu itu seseorang yang bertopeng gulali, tetapi dibalik itu semua kamu berhati kapas”, jelas Arin kepadaku berjalan sambil membawa kue ulang tahun ke arahku. Tampak nenek di samping Arin sedang tersenyum dengan kerutan-kerutan di pipinya. Sontak jantungku sesekali berdebar kencang melihat kerumunan orang tiba-tiba datang dari sudut rumah.
     Suasana rumah yang tadinya sepi senyap, sekarang menjadi riuh “happy birthday Luan...happy birthday Luan...happy birthday...happy birthday... happy birthday Luan”.Tepat di ujung malam kutiup lilin, angka dua dan satu yang berjajar manis di atas kue coklat. Kejutan malam itu benar-benar luar biasa. Ya, setidaknya satu dari kepingan-kepingan memori ini yang akan membantuku untuk menjalani hari-hari dan mengobati rasa rinduku untuk pulang.
     Sekarang disinilah aku. Tempat dimana mimpi masa kecilku akan mulai dilukis bersama sajak-sajak lewat jari-jemari dan pena yang akan merangkul jiwa. Bersama warna-warna cinta yang bercampur perih di dalamnya. Bukan dalam gemerlap kota, melainkan pulau kecil yang merindukan jamahan. Sebuah misi yang sudah lama aku nanti. Tidak.....aku tidak pergi sejauh itu. Hal yang perlu aku syukuri aku masih berada di negeri sendiri, walaupun terpisah jarak beratus-ratus kilometer.
     Langit tampak cerah hari ini, menyongsong kilau-kilau emas yang memantul ke arah wajahku. “Hufttt panasss”, gerutuku seraya mengibaskan rambut yang sudah seperti mie basi. Maklum berhari-hari dikapal membuat aku sudah seperti biota laut yang tak perlu mandi. Beranjak dari dermaga, aku mencoba menghampiri ojek motor yang sudah berjajar menawarkan tumpangan dengan suara logat khas daerah sana. Eittttssss jangan kira aku paham logat mereka, apa yang mereka katakan pun tak ada yang aku mengerti. Jangan kawatir dimana ada kemauan pasti ada jalan, Ya, inilah salah satu kegunaan bahasa indonesia, aku masih bisa berkomunikasi dengan mereka meskipun tak semua dari mereka bisa berbahasa Indonesia.
     Kami pun menyusuri jalan yang licin karena bekas hujan malam tadi. Aku yang sebenarnya takut berlagak sok cool. Padahal di dalam hatiku aku berkata.....”Aku sadari bahwa aku orang yang penuh dengan dosa, suka nguping, ngomongin orang, Ya Tuhan aku masih pingin ngerjain temen-temenku yang ada di kota, ngasih telur busuk ke bangku Koji, ngasih kecoa ke sepatunya Renka... aku masih mau mak comblangin spesies-spesies jomblo yang ada di muka bumi( padahal dirinya sendiri  ehmmmm) dan yang paling riskan cicilanku masih banyak yang belum lunassss. Doa bersama rintihan kecemasan yang cenderung lebay terus kuucapkan dalam batin.
     Entah kesialan apa yang menghampiriku, baru setengah jalan motor yang kutumpangi kehilangan keseimbangan dannnn.............bremmmmmsrettttt sregggggggg brukkkkkk aku jatuh ke kubangan lumpur. “Aduhhhhhhhhhh”, teriaku sambil mengangkat muka yang penuh dengan lumpur, IYA LUMPUR.       Akhirnya terpaksa aku melanjutkan perjalanan karena langit sudah tampak mendung. Sesekali kulihat kaca spion sambil memandangi monster lumpur yang terlihat lesu.      Tepat saat kami sampai di depan puskesmas bresssssss langit pun tak kuasa menahan tangisnya  sore ini. Betapa kagetnya aku melihat puskesmas yang begitu sepi. Namun ada semacam tulisan selamat datang dari kertas yang disusun memanjang yang basah terkena air hujan "Ahhh, ya, sudahlah mungkin aku yang terlalu berharap lebih,  mengharap akan ada rombongan masyarakat yang akan menyambutku, mengucapkan selamat datang dengan penuh kehangatan,mana ada, dasar halu." Aku pun mencoba berpikiran positif mungkin mereka buru-buru pulang ke rumah karena cuaca yang tidak memungkinkan. "O iya, ojek motornya belum aku bayar hehe," sambil menepuk dahi. Ku ambil uang dalam saku celana, "ini pak ongkosnya. Terimakasih, Pak," sambil tersenyum. "Sama-sama Bu", kata tukang ojek itu.
      Kebetulan rumah tempat ku tinggal sudah disiapkan dan berada di samping puskesmas. Kunci rumahnya pun sudah di gantung di dekat pintu. "Teruntuk Dokter", begitu tulisan dalam secarik kertas yang menyertainya. Kubuka pintu, sebuah rumah yang sederhana. Hanya aku dan sedikit bau pengap di sana. Ku letakan semua barang bawaanku,  rasanya tubuhku tak bertenaga. Kemudian menuju keran di samping pintu  untuk membersihkan muka dari lumpur yang sudah mengering. Kuambil handuk dari tasku. Disamping itu ada sesuatu yang menariku untuk mengambil sebuah buku berwarna tosca beserta pena hadiah ulang tahunku dari nenek dan tanganku mulai mengalunkan tulisan.

Sajak untukmu hariku

Di dalam ketakutan aku berteduh
Bersama dengan sisa hujan ini aku jatuh
Aku terjebak lautan lumpur
Menapak dikala pandanganku kabur
Aku rindu...
Padamu tangan-tangan yang membelai lembut tubuhku
Suara-suara yang menghangatkanku
Lihatlah...
sekarang hatiku lebih dingin daripada peluhmu langit
Hatiku menangis...
Lebih daripada tangisanmu kala ini

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Beautiful Condolence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang