Angin bertiup menerbangkan debu jalanan kota yang pengap. Dengungan lonceng pusat kota terdengar dari kejauhan. Seorang pemuda berlari menerobos keramaian kota. Setiap langkahnya menambah pengap karena debu yang beterbangan, sumringah menghiasi wajah cerianya.
“Kabar baik yang aku bawa pasti membuat Marry senang”.
* * *
Dua tahun yang lalu...
Kala itu musim semi tahun 1985. Seorang pemuda duduk di dalam toko majikannya, matanya sesekali terpejam, namun segera ia menggelengkan kepala untuk mengusir kantuk. Pada bulan-bulan inilah jumlah pengunjung tokonya turun drastis.
“John, apa sebaiknya hari ini toko ditutup saja?” si pemuda kantuk menoleh, kemudian bangkit dan membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejanya
“Well, mungkin sebaiknya begitu”. Setelah selesai, ia mengambil topi driving cap di dalam laci meja dan memakainya.
Sore ini, ia lewati seperti biasanya. Monoton sekali. Hal yang membuatnya bertahan adalah kopi yang ada di kedai Mrs. Smith. Letaknya tidak terlalu jauh dari toko buku tempat ia bekerja, hanya sekitar 10 menit jika ditempuh jalan kaki.
“Sedang cuti, huh? Tidak biasanya kau mampir jam segini”, ucap Mrs. Smith, karena biasanya John akan datang saat 1 jam sebelum makan malam.
“Tidak hari ini, Sir. Marvin memutuskan tutup lebih awal”. Mrs. Smith tengah menyiapkan kopi hitam untuk John,
“Well, mungkin karena musim ini cocok untuk berlibur, kau juga sesekali berliburlah, John! Nikmati masa mudamu! Aha, juga carilah pacar! Kau sudah terlalu lama sendiri.”
“Hari ini Anda lebih banyak bicara, Mrs. Smith hahaha,..” Mrs. Smith ikut tertawa. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, ada pelanggan.
“Selamat sore, Madam! Anda terlihat sehat-sehat saja,” suaranya lembut. John menoleh padanya. Gadis itu hanya menyapa John sekilas, lalu kembali berfokus pada Mrs. Smith.
Kejadian itu terjadi hanya sekilas, karena John bangkit dan memakai topi serta jas yang warnanya sedikit memudar.
“Madam, tolong billnya masukan saja ke dalam catatanku!” ucap John sambil melenggang pergi. Pintu tertutup, John sudah tidak terlihat lagi punggungnya.
* * *
Musim semi berlalu, matahari bersinar terik. Kini London yang biasanya dingin, kini terasa panas.
“Tahukah kau, Mike? Sepertinya aku tengah jatuh cinta,” tiba-tiba John berucap, membuatku terkejut bukan main. John yang kukenal sudah mulai tertarik dengan seorang gadis.
“Sungguh? Syukurlah. Kukira, kau seorang gay,” John hanya tertawa menanggapi godaanku.
“Marry, Engkau adalah..”
“Ah ya ya...aku mohon cukup! Aku tidak mau mendengar puisi seorang pujangga yang sedang di mabuk cinta,” kali ini Lianna yang bersuara, memotong syair yang akan disenandungkan John.
Beberapa hari ini, gadis yang John ceritakan sering mengunjungi tokonya. Bahkan berhasil mencuri perhatian seorang John yang dikenal dingin. Aku juga sudah dua kali bertemu dengannya, menurutku dia sangat menawan. Namun, hal itu tertutupi sifatnya yang ceroboh dan cerewet. Mungkin, hal itulah yang membuat John tertarik dengannya.
“Kau menghancurkan moodku, Anna,” aku dan Lianna tertawa setelah puas menggodanya. Kami berpamitan.
Esoknya, seperti biasa, John tengah duduk di tempatnya, tangannya memegang buku tebal. Tampak di covernya tulisan Sherlock Holmes. Matanya bergerak bersamaan dengan bacaannya. Bel klasik di pintu toko berbunyi. John segera mengalihkan pandangannya. Ia terpaku. Marry sudah berdiri di depannya. Sebenarnya itu bukan hal baru, tapi entah kenapa, setiap ia berjumpa dengan gadis itu, jantungnya berdegup seakan berontak dengan rongga dadanya yang sempit.
“Selamat siang, a-apa yang bisa saya bantu?” bahkan John yang selalu cekatan dibuatnya gugup.
“Ayolah, kau terlalu kaku!” ucap Marry setelah melihat John tergagap. Sejak pertemuan itu, hubungan mereka semakin dekat. Bahkan, pada waktu makan malam musim panas akhir, John datang ke rumahku tanpa pemberitahuan. Ia menjelaskan padaku bagaimana ia menyatakan cintanya. Belum lagi Marry menerimanya.
Dari sini perubahan terjadi, sosok John yang dulu seakan lenyap. Yang ada hanya si periang John.
Sore itu, jalanan kota London sedang tenang. Aku dan Lianna tengah menikmati teh di kedai kecil pinggir jalan. Saat itu, kulihat John sedang bercanda ria dengan kekasihnya. Ekspresi mereka sangat bahagia. Tapi, entah apa yang diucapkan Marry, tiba-tiba kulihat raut wajah mereka berubah.
“Mike, kau melamun saja, bahkan tidak menggubrisku yang sedari tadi bicara padamu,” Lianna ternyata beberapa kali melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Am.. Maafkan aku, Anna! Lihatlah di seberang jalan, tepat di belakangmu! Sepertinya mereka mendapat masalah. Ah, kau lihat itu? Marry pergi dari John. Kita harus menghampirinya,” aku bangkit lalu menenteng jasku tanpa memakainya, Anna tidak mengikutiku, ia tahu kalau ini bukan saatnya untuk mengganggunya.
“Apa yang terjadi, Sobat?” tanyaku setelah berada tepat di seberang tempat duduknya. Ia sedikit terkejut, namun segera tersenyum melihatku.
“Kau tahu, Mike? Sebenarnya ini bukan masalah besar, hanya perlu bersabar menunggunya kembali,” aku sudah mulai paham dengan situasi ini dari apa yang baru saja sobatku katakan.
“Marry..dia mau ke mana?” John hanya menggeleng, mungkin terlalu jauh, pikirku.
“Dia akan pergi ke Amerika, ikut dengan ayahnya yang dipindah-tugaskan. Dia bilang, akan kembali musim semi tahun depan. Well, sudahlah. Kau sendiri, bagaimana bisa tahu aku ada disini?” John mulai mengalihkan pembicaraan.
“Menurutku, kau pasti bisa menunggunya,” aku tidak tahu harus menasihatinya bagaimana, aku bukanlah seorang bijak yang bisa memberi petuah-petuah baginya. Aku hanya bisa ikut berdiri di sampingnya ketika masalah merundung kawanku ini.
Musim demi musim berganti. Namun cinta John tetap kokoh layaknya Big Ben yang ada Westminster, London. Meski sejuta cinta menghampirinya, sosok John tetap berdiri pada prinsipnya, bahwa ia akan bahagia dengan gadisnya. Satu tahun ini, Sobatku bekerja lebih keras, bahkan ia juga berdagang di dekat Borough Markets, pasar yang buka pada jam 10:00 a.m. Ketika aku bertanya untuk apa, ia menjawab,
“Untuk modalku melamar Marry nanti, juga untuk bekal kami. Sisanya untuk buka usaha kami. Kau tahu Mike? Minggu-minggu ini, omsetku di borough market semakin meningkat,” aku tertegun dengan pemikirannya, ia sudah memikirkannya sejauh itu. Bahkan aku dan Anna belum ada rencana untuk menikah.
“Kau benar, sobat, tapi aku mohon janganlah terlalu menguras tenagamu. Aku khawatir kalau-kalau terjadi hal buruk padamu,”
“Tenang saja, aku tidak sebodoh itu sehingga bekerja melebihi batasku.” Aku cukup lega mendengar ucapan John.
“Tapi, John, orang yang bekerja untuk mereka yang dicintai, ia tidak merasakan batasnya, walau sebenarnya ia sudah melampaui batasnya terlalu jauh,” tiba-tiba Anna angkat bicara. Ada benarnya juga. Tapi John tidak menggubrisnya.
“Besok Marry kembali,” ucap John tersenyum menatap amplop usang berisi hasil kerja kerasnya selama menunggu Marry kembali dari Amerika. Aku yakin John tidak sabar menunggu hari esok, aku juga sudah menemaninya membeli beberapa pakaian baru untuk ia pakai nanti, tapi, topi driving capnya yang cukup usang tidak ia ganti. Itu adalah barang pertama yang ia beli dengan gaji pertamanya dulu.
Hari yang ditunggu pun tiba. John bangun terlalu siang, padahal kereta akan tiba pada pukul 07:30 a.m., tapi ia bangun pukul 06:45 a.m., ia belum bersiap-siap. Dengan tampilan sedikit acak-acakan, ia segera berlari menuju stasiun yang jaraknya tidak terlalu jauh. John terus saja berlari, Ia tak menghiraukan sepatunya yang jebol, hanya terus berlari. Tangannya menggenggam secarik amplop usang. Ia sudah berusaha melakukan semuanya demi Marry. Setiap memikirkannya, senyum si pemuda terbit lebih manis dari biasanya. Itulah John, seorang yang menyenangkan. Setidaknya, menurutku begitu.
Gadis -berrambut pirang keemasan sepinggul yang dibiarkannya tergerai bebas- terlihat sedang duduk di kursi stasiun bersama temannya. Tak sedikit pria tengah memperhatikannya. Wajar saja, bagaimana tidak? Dia bagaikan dewi Aphrodite yang turun ke bumi tanpa pengawalan Hades. Marry, itulah namanya, nama yang sering diceritakan sahabatku, John.
“Marry, kau tidak pulang sekarang? Aku sudah lelah menemanimu menunggu pria yang tidak dapat menjemput gadisnya tepat waktu,” tanya gadis di sisi Marry. Gadis yang ditanya tidak merespon, pikirannya sedang tidak di sana.
“Kau melamun lagi, ini sudah ketiga kalinya aku menyadarkanmu,” ucap Emelda, yang baru saja bertanya.
“Ah.. Maaf, maaf. Hari ini aku benar-benar sedang gelisah. Tadi kau bertanya apa?” jawab Marry kemudian, mengalihkan perhatian kepada Emelda.
“Sudahlah, lupakan saja, tidak penting!” Emelda terlanjur kesal dibuatnya.
Dari kejauhan terdengar sayup seseorang memanggilnya, walau hanya terdengar seperti bisikan yang tidak terlalu jelas, namun Marry sudah hapal betul suara itu. Ia segera berdiri dan mencari asal suara. Kemudian, dalam kerumunan penduduk yang tengah menyaksikan sirkus jalanan, terlihat seseorang berlari ke arahnya dengan tangan kanan melambai-lambai kepadanya. Senyum termanis Marry tersungging, wajah yang sedari tadi suram seakan tersinari matahari pagi kala itu. Pemuda itu sudah ada beberapa langkah di depannya, tanpa perlu adegan layaknya drama, mereka berpelukan.
John baru saja sampai dan berhenti berlari, terpaku dengan apa yang ia lihat. Wajah ceria yang tadi ia bawa seakan jatuh di tengah jalan. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, seakan sesuatu akan meledak dari dalamnya. Lalu tak lama kemudian sungai deras mengalir dari matanya. Nafasnya yang tersengal karena lelah masih tersisa, membuatnya susah untuk menumpahkan tangisannya. Mungkin orang lain akan berbaik sangka terhadap Marry; mungkin yang dipeluknya adalah adiknya, atau kakaknya. Tapi, John kenal betul dengan pemuda sialan itu. Ia adalah Thomas, teman kerjanya. Ia melepas topinya, kemudian menggenggamnya seakan ingin menyobeknya. John berbalik lalu meninggalkannya. Meninggalkan segenap asa akan gadis yang ia cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amplop usang berisi harapan
Short StoryAkankah cinta sang pemuda bisa tersampaikan pada si gadis, Marry.