Ketika Kartika memberikan sepatah kata maaf pada Bima, itu adalah awal kedamaian di dunia si bengal.
Bima menjauh dari anak-anak bermasalah yang selama ini menjadi gengnya. Anton dan Zaky malah tertular jinak.
Tidak ada lagi tingkah polah aneh kepada teman atau guru. Kalaupun muncul, itu adalah murni bercanda atau Bima memang tidak suka pada obyeknya.
Salah satu yang sangat berterimakasih atas perubahan Bima adalah Julizar. Tidak ada lagi yang mengganggunya, teman sebangkunya sudah berperan dengan baik sebagai layaknya teman sebangku. Bima telah memberikan peringatan keras pada anak-anak bandel mantan kroninya. Mereka tampak tidak setuju tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bima masih tampak jauh lebih berkuasa di mata mereka meskipun mereka sudah tidak sealiran lagi.
Dan itu juga jadi awal kerumitan lain. Ada dua hati yang berdebar aneh saat mata bersitatap.
Bima mulai sulit memerangi perasaannya sendiri terhadap Kartika yang jelas akan menabrak banyak rintangan dan norma.
Kartika tahu arti tatapan Bima yang semakin mengganggu pikirannya. Ia pernah dekat dengan sedikit laki-laki sebaya atau bahkan lebih dewasa, tapi yang satu ini membuatnya gerah dan panik. Bagaimana tidak panik jika kau mulai suka pada brondong yang enam tahun lebih muda ? Dan parahnya, itu muridnya, cucu tunggal wanita yang sudah dianggapnya nenek angkat yang sangat baik padanya selama ini, serta yang tak kalah hebatnya, pewaris tunggal keluarga kaya raya di ibukota sana....
Sadar diri, Kartika. Sadar. Delapan belas adalah usia pria muda yang sedang dibanjiri hormon secara gila-gilaan. Kau tahu itu.
Kartika terus mengingatkan dirinya dan membuang jauh-jauh rasa gila itu dari hatinya.
Di sekolah dan di tempat umum, tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang berkecamuk di hati mereka karena semua berjalan sangat biasa. Masing-masing menyimpan rapat-rapat rasa yang terhalang banyak tembok itu.
Tapi Bima akhirnya menyerah. Ia tak bisa lagi mengingkari perasaan yang begitu kuat dirasakannya. Bukan perasaan seperti pada cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya. Bukan perasaan seperti itu yang sembilan puluh lima persen karena fisik dan nafsu lelaki muda.
Ini beda. Sangat beda. Bukannya ia tak tertarik dengan tubuh berisi dan wajah cantik sang gadis matematika, tapi jauh melampaui itu semua.
Meskipun tidak tampak ada perubahan pada gaya hidupnya yang masih dikelilingi cewek dan melayani godaan mereka walaupun tak serius, Bima kesulitan melawan rasa itu bila jam sekolah berakhir. Bu Kartika tinggal Kartika, wanita memesona yang kebetulan lebih tua darinya.
Bila bel pulang berbunyi, Kartika mulai bingung mencari alasan untuk menghindari ajakan Bima yang mengajaknya pulang bersama. Seandainya ia tidak pernah kecelakaan yang membuatnya fobia mengendarai motor, ia pasti sudah kabur dari tadi.
Tapi sialnya, rekan guru-gurunya yang tidak mencium gelagat mencurigakan sedikitpun malah memberikan kesempatan lebar bagi Bima. Sebenarnya tujuan mereka baik, daripada bersusah-susah berebut angkutan umum dengan anak-anak atau menunggu ojek yang kadang tak bisa diharapkan, lebih enak bareng Bima yang searah dan sekomplek. Apalagi jika cuaca buruk, Bima diizinkan oleh sang nenek membawa mobil. Seperti hari ini.
Setelah saling diam di jalan kecamatan yang lumayan ramai, Bima mulai buka mulut ketika ia membelokkan mobilnya ke jalan pedesaan.
"Boleh aku panggil 'Kakak' jika di luar sekolah ?"
Kartika menelan ludah. Ini dia.
"Lebih akrab," sambung Bima tanpa menunggu persetujuan si empunya. "Kita kan tetangga. Lagipula Kakak tidak setua itu untuk dipanggil Ibu di luar sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher and The Heir
General Fiction(COMPLETED) Bima, yang tak terkontrol lagi kehidupannya, diungsikan orangtua ke kampung halaman neneknya. Di situ ia harus menuntaskan SMA jika masih ingin diakui sebagai pewaris tunggal keluarga. Merasa paling segalanya, ia terus berulah di sekolah...