"Raihlah ridha orangtuamu. Maka saat itu pula kamu sudah meraih ridha Rabbmu."
-Pecah-
---
Ritme jantung Rajwa berdetak abnormal kala mobil yang dikemudikan oleh Zikri mulai memasuki gang menuju rumahnya. Gemuruh antara rindu dan gugup itu teremulsi dalam dadanya hingga menimbulkan gelenyar aneh. Dari kejauhan, dia sudah bisa melihat sepasang paruh baya yang berdiri persis di depan pintu dengan senyum yang merekah. Ya, sebuah senyuman kebahagiaan karena kini sebentar lagi akan ada rindu yang usai, dan akan ada khawatir yang reda karena anak gadisnya telah kembali ke dalam dekapan.
Jarak antara stasiun dan rumahnya yang cukup jauh itu memakan waktu kurang lebih satu jam perjalanan meski jalanan malam sudah lengang. Ketika porosnya telah berhenti, Rajwa segera turun dengan sumringah. Ucapan salam tidak absen dari sapaan pertamanya.
"Assalamualaikum, Umi ... Abi ...."
Rajwa segera melangkah mendekati orangtuanya. Meski sudah sampai pada usia senja, namun orang tua Rajwa masih tampak bugar. Walau tidak dapat dipungkiri, rambut yang dahulu hitam legam kini sudah mulai memutih dibalik peci dan khimar yang mereka kenakan.
Sebuah senyuman juga tercetak jelas membentuk lengkungan bulan sabit di bibir kedua orangtua Rajwa. Kantung mata yang mulai keriput, terlihat semakin mengerut tatkala lengkungan senyum itu mereka tarik. Melihat anak gadis mereka satu-satunya telah kembali menjejakkan kaki di kampung halaman dengan sehat, selamat, tanpa kekurangan suatu apapun sudah membuat mereka lega.
Rindu yang semula menggunung, perlahan mulai sirna saat dengan lembut tangan Rajwa bersentuhan dengan kulit tangan yang sudah mulai keriput itu, untuk disalimi dengan takzim. Memeluknya sejenak untuk lebih meyakinkan diri, bahwa rindu yang setiap hari menyambangi, kini telah usai. Menguap dan menguar seiring dengan si orientasi rindu itu mereka dekap.
"Anak gadis abi sudah besar ternyata," ucap Rahman dengan mengelus pucuk kepala Rajwa.
Dengan penuh sopan pula, Riyadh dan Maryam mengikuti jejak Rajwa yang menyapa Rahman dan Endah. Malam itu telah usai, ditutup dengan pertemuan yang menggembirakan.
---
Pagi ini, saat mentari masih nampak malu-malu bersembunyi di balik kabut, terdapat canda tawa yang kembali menghangatkan meja makan di kediaman Rahman. Kembalinya anak gadis satu-satunya itu menjadi awal kembali hidupnya suasana yang sangat mereka rindukan. Bercengkrama dengan sesekali melontarkan guyonan-guyonan yang menggelitik, nampaknya cukup untuk mengobati rindu yang melegam di dalam hati.
"Abi kira Rajwa pulang bawa laki-laki mau dikenalin ke abi sama umi sebagai calon. Eh, taunya cuma temen," celetuk Rahman di tengah acara sarapan pagi mereka, berniat untuk menggoda Rajwa.
Rajwa yang mendengarnya merasa tidak enak kepada Riyadh. "Apaan sih, Bi. Gak usah ngada-ngada deh," ucapnya disertai kekehan yang dipaksakan dengan sesekali melihat air muka Riyadh, berharap bahwa lelaki itu tidak merasa tersinggung dengan ucapan abinya yang keluar sebagai guyonan.
"Bener itu kata abi, Neng. Kamu teh udah dewasa, udah cocok kalau nikah," timpal uminya.
"Apa, sih, Mi. Perjalanan Rajwa itu masih panjang, baru juga mau nyusun skripsi."
"Tapi seenggaknya kalau kamu udah punya suami, kamu ada yang ngejagain. Jadi umi sama abi gak perlu lagi khawatir sama keadaan kamu yang gak bisa setiap saat umi sama abi kontrol. Leres kitu, Bi? (Benar begitu, Bi?)" tanya Endah kepada Rahman untuk meminta dukungan, yang dijawab Rahman dengan sebuah anggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecah
Spiritual[Update setiap hari Jumat] Kemungkinan terbesar dari mencintai adalah patah hati. Seperti halnya selalu ada substitusi setelah eliminasi. Maka begitulah dengan persoalan hati, selalu ada patah hati setelah adanya jatuh cinta. Patah hati menggiring l...