Namaku Adam

6 1 1
                                    

Di hari penghujung Agustus aku kembali menjadi makhluk asing, aku kembali di telanjangi oleh pasangan mata yang terus menatap, di preteli satu persatu dari ujung rambut sampai ujung kaki, aku kembali menjadi incaran bibir bibir yang penasaran, menjadi santapan hangat para gadis di meja makan atau sekedar duduk mencari bahan tertawaan. Tapi tak apa, aku sudah terbiasa dan ini adalah kesekian kalinya yang aku alami.

Sejak umurku dua belas tahun aku mulai terbiasa untuk siap hidup dengan suasana yang berbeda. Berkemas, mengangkat barang, menggeser, menyusun, menata, semua harus siap aku lakukan setiap kali kami pindah. Itu karena tempat baru berarti rumah baru.


Ini semua karena pekerjaan ayah. Aku dan ibu juga harus pindah setiap ayah di pindah tugaskan ke kota lain, meski hannya satu atau dua tahun. Kami semua harus tetap pindah.

Aku tidak tau, kenapa kami harus pindah semua, bahkan juga dengan sekolah ku. Aku tak masalah jika aku harus pindah tapi jadi masalah besar bagiku untuk belajar dengan orang baru.


Dan sampai umurku enam belas tahun, aku tidak pernah punnya sahabat seperti anak seumuranku di luar sana. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah dan sebagai anak baru, jarang sekali teman sekelas mengajakku untuk bermain keluar bersama mereka.

Hal yang sering aku sesali adalah di saat aku mulai akrab dan dekat dengan teman di sekolah, di saat seperti itu aku juga harus siap siap untuk kehilangan mereka.

Aku melanjutkan langkah kaki melewati kelas demi kelas, kantin, perpustakaaan dan membaca kata kata mutiara yang menggantung di sepanjang jalan yang aku lewati. Mereka menggantung rapi di atap berwarna putih, ditemani oleh kabut yang memberi tahuku usia mereka mulai menua.

Aku tidak sendiri. Aku ditemani pak Joko yang aku kenal beberapa menit yang lalu. Beliau berbaik hati mengantarku, menjelaskan setiap jengkal yang kami lewati. Padahal aku hannya sekedar bertanya di mana kelas yang aku cari, tapi pak Joko malah berdiri, melangkah mendekatiku "ini tanggung jawab saya nak, nanti kalau kamu tersesat, salah masuk kelas kan malu".
Benar juga, lagi pula tak ada ruginya kalau pak Joko mengantarku sampai kekelas.
"jadi gimana nak?"
"ok lah pak"
Dengan senyum pak Joko dan aku melangkah bersama.

" kamu kenapa pindah nak? "
Pertanyaan semacam ini akan tetap selalu ada, setiap kali aku pindah. Dari teman, dari tetangga dan dari orang lainnya seperti pak Joko. Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan pak Joko, cuman aku malas saja jika harus mengulang dengan jawaban yang tidak pernah berubah.
"ditanya kok malah senyum sih? Emangnya bapak lucu ya?"
"enggak kok pak"

"kalo di lihat kamu bukan tipe anak pindahan yang sering saya temui, rata-rata mereka anak bermasalah. yang nggak naik kelas lah, yang kebanyakan bolos di sekolah, yang ngelawan guru lah. Pertama kali masuk sekolah mereka acak-acakan, ngomong nggak ada sopan santunnya. Paling ogah saya ketemu sama yang begituan"

Tak jauh berbeda dengan yang lain sepertinya pak Joko juga ikut meliput dan menyelidikku. Dan aku rasa pak joko memulainya jauh sebelum aku mendekat untuk bertannya.

"tapi kamu keliatannya anak baek, nggak kayak mereka-mereka.
Atau kamu pindah rumah ikut orang tua ya ke kota ini? "
"iya pak, saya ikut orang tua pindah kesini pak"

Untunglah pak Joko punya analisa yang bagus, dan aku tak perlu menjelaskan kenapa aku harus pindah.

Sepuluh menit berlalu dan akhirnya pak Joko mengantarku tepat di depan pintu kelas yang akan aku tempati. Sepertinya pak Joko mengerti dengan keterlambatan yang aku alami.

Pak Joko mengetuk pintu kelas, dan seorang wanita berseragam dinas, berkacamata hitam menoleh keluar. Dia adalah ibu Ami. Aku tau namanya saat pak Joko menjelaskan seorang anak baru yang tidak tau dimana kelasnya dan itu adalah aku.

Aku mengikuti bu Ami dari belakang. Dengan senyum manisnya, bu Ami mempersilahkan sesi perkenalan untukku.

"perkenalkan nama saya Adam adzohir, panggil saja Adam?"

"wiih namanya Adam, mau dong jadi Hawanya"

"Hahaha " seisi kelas tertawa. Aku hannya tersenyum menahan tawa karena gadis yang menggoda ku.

" Iis kamu jangan kecentilan sama Adam dan Adam silahkan duduk, kamu pilih sendiri ya duduknya di mana?"

Aku duduk di kursi kayu berwarna coklat, urutan kedua dari depan. Seperti yang lain, meja ini khusus untuk dua orang. Aneh nya aku hannya duduk sendiri, aku tidak melihat ada orang lain yang mengisi kursi kosong di sebelahku.

"Dam,, Adamm,,Oooi Adamm... "
"arghhh, apaan? "
Aku tersentak kaget, tapi suaraku masih pelan. Tubuhku refleks ke belakang.

"sorry Dam. mending lu pindah deh, sebelum nenek lampir pulang"
"maksudnya? "
"ntar lu juga tau"

"wuuush...."

Benda berwarna biru dan hitam melayang tepat di sampingku. (Penghapus Papan).

Seluruh kepala berpaling pada kami.

"arghhh,,,sial, hari pertama sekolah sudah berantakkan"

Aisyah Dan AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang