Setelah membicarakan segala hal dengan kedua orang tua serta Puspa Resmi, kini Umbara kembali ke Gunung Lawu. Hanya tiga hari ia berada di tempat kelahirannya. Mungkin ia akan lama meninggalkan kampung halaman setelah menjadi guru besar Jagadita. Umbara belum sempat naik gunung. Karena hujan pemuda itu memilih duduk dulu di sebuah kedai makanan di salah satu pedesaan kaki Lawu. Kedai itu ternyata juga menyediakan penginapan. Udara di kaki Lawu saat hujan sudah sedingin ini apalagi kalau Umbara meneruskan perjalanan. Ia tentu belum sampai dan bisa mati membeku di hutan sekitaran Lawu.
"Mau tambah lagi araknya, Kisanak?" tanya pemilik kedai.
"Tidak. Saya tak biasa mabuk," sahut Umbara.
Pemilik kedai itu membawa piring tanah liat bekas pemuda itu makan. Hujan semakin tak terbendung saja. Seperti ditumpahkan dari langit tanpa perantara. Atap rumbia kedai ini tak sanggup menahan derasnya hujan. Hingga di beberapa tempat, air membanjiri lantai tanah. Pemilik kedai dengan sigap mencari tempat untuk menadahi air supaya lantai tidak kotor dan licin. Bahkan meja yang ditempati Umbara juga kena tetesan air yang cukup deras. Pria tambun pemilik kedai menaruh gentong kecil di atas meja lalu duduk di depan Umbara.
"Kedaiku ini sudah tua. Jadi beginilah kalau hujan, harap maklum, Kisanak," katanya memulai pembicaraan.
"Tidak apa-apa, Ki. Untung saja saya belum sempat naik gunung, kalau tidak...." Umbara menggeleng dan membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
"Kita memang harus sedikit banyak tahu keadaan langit, supaya bisa memperkirakan keadaan. Memangnya Kisanak ini mau kemana? Sepertinya Kisanak berasal dari daerah yang jauh," tanya pria itu.
"Saya murid Ki Wursita. Saya baru pulang dari kampung untuk menjenguk orang tua."
"Sudah berapa lama menjadi murid di Padepokan Jagadita?"
"Satu dasawarsa."
"Wah, sudah lama, ya!"
Percakapan terhenti seketika saat terdengar suara pintu dibanting. Dari pintu masuk berdiri tiga orang gadis. Semuanya mengenakan pakaian serba ungu dan sudah basah kuyup karena hujan.
"Apa kau memiliki kamar untuk kami bertiga?!" tanya yang paling depan agak kasar.
"Oh...punya, Sari tunjukkan pada mereka," pemilik kedai memanggil salah satu pekerjanya yang masih berusia sekitar empat belas warsa.
"Urus juga kuda kami! Beri makan! Jangan sampai mereka mati kedinginan!" Gadis paling depan menyerahkan beberapa kepeng lalu beranjak menuju kamar mereka.
Pemilik kedai membawa ketiga kuda cokelat menuju gedhongan (kandang kuda). Sejak tadi Umbara selalu memperhatikan tiga gadis itu. Warna dan bentuk pakaian yang mereka kenakan tampak tak asing. Mirip dengan pakaian Tantri Kembang, kekasih Mandaka.
Mungkinkah mereka berasal dari Welirang? Apa tujuan mereka kemari?
Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Umbara mengenai kedatangan tiga gadis itu. Sepertinya pria tambun tadi telah menyuruh seorang pekatik untuk mengurus tiga kuda milik para gadis yang menjadi tamunya.
"Aki kenal siapa mereka?" tanya Umbara.
"Tidak. Tapi jika dilihat dari pakaian, sepertinya mereka dari Gunung Welirang, banyak gadis pendekar dari sana. Rata-rata mereka mengenakan pakaian serba ungu," jelas pemilik kedai.
***
Tiga ekor kuda digebah dengan kuat hingga larinya seperti dikejar hantu saja. Tiga orang gadis yang mengendalikan tampak biasa saja. Padahal kecepatan kuda itu sudah melewati batasnya. Gadis kasar yang memimpin di depan menarik kekang kuda lalu berhenti diikuti dua kuda di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Ficção Histórica...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...