Kediri tengah berkabung dan dirundung duka. Seorang raja besar Kediri, Prabu Kameswara bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Utunggadewa akhirnya mangkat. Selama pemerintahannya, Prabu Kameswara berhasil menyatukan Kediri dan Jenggala dengan menikahi Dewi Kirana yang merupakan putri kerajaan Jenggala. Kemajuan dalam bidang sastra berkembang pesat. Ditulisnya kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Dharmaja yang mengisahkan terbakarnya Kamajaya dan Ratih. Pasangan dewa dewi ini kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara dan permaisurinya, Sri Kirana. Kakawin Smaradhana juga merupakan cikal bakal kisah-kisah Panji yang populer dalam masyarakat Jawa.
Sejak dulu dua kerajaan yang tercipta dari pembagian adil oleh Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa atau Prabu Airlangga ini tak pernah akur. Kedua putra Prabu Airlangga sama-sama merasa pantas menduduki takhta Kahuripan. Demi menghindari perpecahan, sang prabu membagi kerajaannya. Pembagian dilakukan oleh seorang pemuka agama Hindu atau brahmana yang terkenal dengan kesaktiannya. Brahmana itu bernama Mpu Bharada. Kerajaan barat diberikan kepada Sri Samarawijaya, berpusat di Daha yang dikenal dengan Kediri atau Kadiri. Sedangkan kerajaan timur disebut Jenggala berpusat di Kahuripan dan diperintah oleh Mapanji Garasakan. Kedua kerajaan dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas.
Meskipun kedua kerajaan masih bermusuhan, tetapi pada saat pemerintahan Prabu Jayabaya, Jenggala dapat ditaklukan dan disatukan dengan Kediri. Peristiwa itu disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Kurawa dalam Kakawin Bharatayudha yang digubah oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.
Setelah Prabu Kameswara mangkat, maka Sri Kertajaya naik tahta. Upacara penobatan dilakukan di balairung agung Kediri. Sang raja nampak sangat berwibawa mengenakan mahkota kebesaran Kediri. Gelar abhiseka untuk Prabu Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindhita Srenggalacana Digjaya Utunggadewa. Prabu Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Sri Dandhang Gendis. Penobatan disaksikan oleh para tumenggung, adipati dan petinggi kerajaan lainnya.
Setelah penobatan, Prabu Kertajaya diarak menuju alun-alun kotaraja. Untuk pertama kalinya raja Kediri ini menyapa rakyat yang akan menjadi tanggung jawabnya. Banyak sekali rakyat yang datang ke sana. Mereka ingin melihat seperti apa rupa raja yang akan memimpin negeri itu. Pastinya mereka berharap jika Prabu Kertajaya mampu membawa Kediri menuju kemakmuran dan kejayaan. Sama seperti ketika dipimpin oleh Prabu Jayabaya.
Setelah penobatan selesai, seluruh rakyat Kediri kembali menuju tempat tinggal mereka. Sementara itu, Prabu Kertajaya mengadakan pertemuan di balairung dengan para adipati, tumenggung serta petinggi Kediri lainnya.
"Aku sungguh merasa bangga dapat duduk di singgasana ini. Tentu tanggung jawabku akan semakin berat. Untuk memajukan Kediri, diperlukan kerjasama yang kuat di setiap sendinya. Aku sebagai kepala takkan mampu berdiri tanpa dorongan dari kalian juga rakyat Kediri. Oleh karena itu, aku harap kalian akan membantuku dalam memerintah Kediri hingga jadi kerajaan besar dan tak tertandingi!"
"Sendika, Gusti," sahut seluruh yang hadir dengan menjura hormat.
Setelah pertemuan itu, para adipati, tumenggung dan yang lainnya kembali ke kediaman masing-masing. Di luar pendapa kedaton, seorang pria gagah dan tegap tampak akan segera meninggalkan kedaton. Dari dalam pendapa muncul pula seorang pria berusia sekitar tiga puluh dua warsa menghampiri, tepat sebelum pria tadi menaiki kereta kuda.
"Dimas Anggabaya...!" panggil pria tadi.
"Kakang senopati?" desis pria yang dipanggil Anggabaya.
Pria bernama Anggabaya ini merupakan seorang adipati di Anjukladang. Sementara yang memanggilnya adalah senopati Kediri yang amat sangat disegani siapapun. Senopati Gubar Baleman. Sorot matanya begitu tajam. Tubuhnya tegap dan berotot. Raut wajahnya terlihat ganas dan kasar. Tak jarang orang akan segan untuk sekadar menyapa atau melempar senyum pada senopati Kediri ini. Mereka sering menyangka jika watak Senopati Gubar Baleman sama dengan raut wajahnya. Tapi ternyata dugaan mereka salah semua. Bagi yang sudah kenal baik dengannya akan tahu sikap aslinya yang cukup ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historical Fiction...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...