4

135 18 5
                                    

Apa yang Navya duga benar-benar terjadi. Bunda berdiri dengan menunjukkan raut wajah cemasnya. Payung dari pak Rozak tidak benar-benar menghindarkan dirinya dari hujan. Terlihat rok abu-abu nya basah sebagian. Sepatu yang dikenakannya sudah jelas basah kuyup. Untung saja tas nya dilengkapi mantel, jadi cukup meminimalisir basah dibagian punggungnya.

"Assalamu'alaikum Bun." Sapanya pada Bunda yang sekarang menatapnya garang seraya berkacak pinggang.

"Kenapa baru pulang jam segini?" Tanya Bunda datar.

"Bunda, kalau Nav salam dijawab dulu dong. Wajib tau hukumnya jawab salam orang." Ia berusaha mencairkan suasana. Ia paham sangat jika Bunda pasti khawatir padanya. Terlebih Ia pulang dengan keadaan tidak baik.

"Bunda udah jawab salam kamu didalam hati. Kemana aja kamu? Kenapa nggak ngabarin Bunda kalau mau pulang telat?"

"Tadi Nav nggak sadar kalau HP Nav lowbat, jadi Nav nggak bisa ngabarin Bunda. Nav minta maaf ya Bun?" jawabnya sambil melepas sepatunya.

"Yaudah sekarang masuk langsung ganti baju biar nggak masuk angin." Perintah Bunda yang dibalas anggukan dari Navya.

**

"Besok lagi kamu bisa kabarin Sultan kalau mau minta jemput. Sultan nggak mungkin keberatan kok." Navya yang saat itu sedang makan mendengus pelan.

Sultan lagi, Sultan lagi. Batinnya.

"Nav nggak mau ngerepotin Sultan, Bun. Dia itu sibuk. Lagian Nav udah gede kok, bisa pulang sendiri." balas Nav.

"Bunda nggak tenang kalau kamu pulang sendiri kayak tadi. Mana hujan lagi. Sultan itu sudah seperti kakak kamu sendiri, jadi nggak papa ngerepotin kakak sendiri. "

Ya, Sultan dan Navya adalah mahram. Sewaktu tante Jihan –ibu Sultan- melahirkan Sultan, disitulah Beliau kehilangan nyawanya untuk Sultan. Sejak saat itu, Sultan dititipkan pada Bunda. Termasuk untuk urusan ASI. Karena saat itu Navya dalam kondisi menyusui juga.

"Iya deh iya." Balas Navya kesal. Pasalnya Ia saat gengsi dan malu jika harus berhubungan dengan Sultan. Kondisi mereka yang bukan lagi anak kecil memaksa Navya bersikap canggung. Apalagi Sultan hanya saudara se-ASI, membuat feel antara keduanya terasa aneh, menurut Navya.

Namun, sejauh ini hubungan Sultan dengan Bunda bisa dikatakan memang seperti ibu dengan anaknya. Dulu, waktu Navya masih di Pesantren, Bunda selalu datang menjenguknya dengan Sultan. Karena Bunda sendiri tak bisa mengedarai sepeda motor. Sultan juga yang selalu bersikap ramah dan sopan kepada Bunda. Sultan juga lah yang mengurus Bunda jika Ia di Pesantren. Makadari itu, Bunda teramat menyayangi Sultan.

"Nav masuk kamar dulu ya, Bun. Masih ada tugas diatas." pamit nya pada Bunda setelah selesai mencuci piring. Itu rutinitasnya. Bunda yang menyiapkan makan, dan Navya yang membereskannya. Tugas rumah yang seimbang.

"Jangan tidur kemaleman, kamu udah terlalu capek tadi jalan kaki dari sekolah sampai rumah." kata Bunda yang dibalas jari jempol oleh Navya.

**

Ternyata pagi ini bukan pagi yang cukup baik.

"Bunda, obat flu nya Bunda taruh mana? Kok di kulkas kosong?" teriak Navya dari dapur. Mungkin karena efek hujan-hujanan kemarin yang membuat nya justru terkena flu pagi ini. Bunda yang menyapu teras tak segera menyahut pertanyaannya.

Mungkin nggak kedengeran, batinnya.

Ia akhirnya memutuskan menyusul Bunda diteras. Benar saja, Bunda terlihat sedang mengobrol dengan Sultan yang sudah lengkap atribut kesekolahnya.

Stay WeirdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang