Aura kini sampai di rumahnya. Ah tidak, ini bukan rumahnya, lebih tepatnya adalah kosan. Mengingat jarak dari rumah ke sekolah yang lumaya jauh juga untuk lebih mengefisienkan waktu supaya tak banyak terbuang di perjalanan, Aura memilih ngekos.
Jaket Devan yang sedari tadi masih menempel di tubuhnya perlahan ia buka. Parfum khas cowok itu masih segar di penciumannya. Wangi yang kalem, wangi yang begitu menenangkan. Sempat terbuai sesaat, gadis itu kembali tersadar. Aura mengerjap-ngerjapkan matanya lalu menggeleng cepat.
***
Sekali lagi hujan datang mengguyur daratan kota Bandung. Di kamarnya, Devan terlihat mondar-mandir dengan perasaan yang entahlah ... ia sendiri juga tak dapat menerjemahkannya. Bak proyektor film, kejadian di pos ronda beberapa jam yang lalu terus terlintas dipikiranya.
“Bego,” rutuk Devan kesal.
Sungguh, baginya kejadian yang tadi itu benar-benar memalukan!
“Gue gak mau lo sakit.”
Kata-kata itu terus Devan ucapkan. Ia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Padahal jika kita ingat, Aura saja tak mendengar dengan jelas.
Berbeda dengan Devan, di tempat lain Aura justru sedang senyum-senyum sendiri sambil menatap layar ponselnya seperti orang gila. Selang beberapa menit, gadis itu malah terlihat mencium ponselnya.
***
Dinginnya malam kini tengah berganti hangat seiring dengan munculnya sang surya yang sudah menampakkan diri sejak lima belas menit yang lalu. Namun, Devan sepertinya enggan terbangun. Cowok itu masih bergelung dengan selimut tebal miliknya yang hampir menutupi seluruh tubuh.
Devan mendengus sebal saat indera pendengarannya menangkap suara yang begitu menyiksa. Seolah tak tahu malu, suara itu setiap hari menyapanya. Memaksanya terbangun meskipun enggan seperti sekarang ini. Dengan cepat, Devan berkemas lalu memakai segaram putih abunya agar tak bisa mendengar suara itu lagi.
Serpihan kaca terlihat berserakan saat Devan melewati ruang keluarga. Dengan langkah hati-hati, ia melewati serpihan itu dengan perasaan sesak yang tiba-tiba menyerang.
"Kapan semua ini berakhir?"
“Saya berangkat ke sekolah dulu,” teriak Devan yang hanya di jawab hening.
Devan menaiki si kuda besi merah kebanggannya. Ia menyalakan mesin lalu melajukannya menjauhi bangunan yang seharunya dapat menjadi tempatnya berlindung.
***
“Van?! Lo mau ke mana? Sekolah kita belok kanan, lo mau bolos, ya?” tuduh Inesa yang sayangnya tepat sekali saat melihat Devan yang hendak berbelok kiri.
“Kagak. Gue mau beli bensin,” kilah Devan.
Inesa hanya menganggukkan kepalanya.
“Van, gue nebeng, ya? Ban mobil gue tiba-tiba kempes.” Inesa menunjuk sedan putih miliknya.
“Ya udah, ayo!”
Dengan terpaksa, Devan harus membatalkan acara bolosnya karena ke gep Inesa.
Devan dan Inesa kini sudah sampai di halaman parkir SMA pelita. Devan yang melihat kedatangan Aura langsung pergi begitu saja. Helm yang ia kenakan ternyata belum tersimpan dengan benar sehingga jatuh mengenai kaki Inesa. Inesa meringis lalu berteriak, "Kampret, sakit oyy!"
"Ines jualan karpet?" tanya Viola yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Inesa.
Inesa sedikit terperanjat kemudian menoleh ke belakang. Ia menatap tajam gadis yang kini tengah memamerkan senyum tanpa dosanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devan (Slow Update)
Teen FictionNote: cerita ini akan selalu direvisi setiap saat. Devano Alexandra atau yang akrab disapa Devan merupakan most wanted di SMA Pelita. Orangnya dingin, dan juga biang onar. Dia memiliki 3 orang teman yang semuanya cewek. Devan yang terkenal dingin it...