Prolog

1.3K 37 11
                                    

Ini naskah novel perdana saya.
Sebagai seorang penulis non-fiksi dan juga pembaca buku non-fiksi sejati a.k.a bukan penulis novel dan juga bukan pembaca novel, menulis naskah fiksi ini bikin saya beban lahir batin, malah sampai bikin demam, saking pusingnya 😅

Trus kenapa berani-beraninya nulis fiksi dunk? Novel pula!

Karena saya beruntung mendapat beasiswa penulisan novel dari salah satu penerbit grup Mizan plus kontrak penerbitannya. Asyik ya!

Etapi pas giliran mau dicetak, penerbitnya tiba-tiba gulung tikar alias ditutup. Nasibbb 🙀🙀🙀

Maka...
Tak ada rotan, akar pun jadi. Batal diterbitkan wattpadd pun jadi.

Ok, selamat menikmati naskah novel nyaris cetak ini ya Gaess... Semoga suka 😊

***

"Apa-apaan ini, Karin?"

Suara keras Pak Anton membuatnya tersentak. Selembar kertas melayang dari tangan lelaki paruh baya itu lalu mendarat di atas meja. Karin meliriknya sekilas. Ia tak menyangka rencana pengunduran dirinya akan membuat bos besar departemen kreatif ini marah.

"Itu surat pengunduran diri saya, Pak."

"Memangnya kenapa kamu mau resign?"

Karin terdiam. Dalam surat itu ia jelas-jelas telah menyebutkan alasannya.

"Saya ingin mencari pengalaman dan suasana baru, Pak."

"Kamu diterima bekerja di perusahaan lain?"

Spontan Karin menggeleng.

"Jadi kamu mau cari pengalaman baru di mana?"

"Mmmm... Maksudnya saya ingin istirahat dulu, Pak, sambil mencari peluang pekerjaan baru."

Karin merasakan suaranya sedikit bergetar, ia tak nyaman harus berbohong.

"Saya sudah baca surat pengunduran diri kamu. Saya juga sudah memanggil Arya untuk menanyakan apa ini ada sangkut-pautnya dengan hubungan kalian."

Karin amat terkejut mendengar perkataan Pak Anton, ia pun buru-buru menyanggahnya, "Ini nggak ada hubungannya sama sekali, Pak."

"Jangan bohong. Performa kamu menurun sejak sebulan lalu dan menurut Arya, itu semenjak kalian putus, kan?"

Karin cuma diam dan tertunduk. Ia terlalu malu untuk mengakuinya. Resign gara-gara masalah asmara! Apa kata dunia? Selama ini Karin sudah berusaha sekuat tenaga menahan segala rasa kecewa, sakit hati dan amarah terhadap Arya karena telah mencampakkannya namun gagal. Ia mengira waktu akan menyembuhkan luka hatinya namun ternyata tidak. Hingga detik ini, ia masih amat membenci Arya bahkan memandang wajahnya saja bisa membuat Karin mual.

"Menurut saya ini jalan terbaik, Pak. Belakangan saya merasa tidak bisa bekerja maksimal, saya khawatir ini akan mempengaruhi kinerja perusahaan."

"Ya, saya mengerti. Kejadian dengan Dominos tempo hari contohnya, kan?" kata Pak Anton menyebut nama perusahaan salah satu klien mereka.

Karin tak menyangka Pak Anton akan mengungkit kejadian itu. Minggu lalu, tim kreatif terpaksa bekerja lembur hingga dini hari gara-gara Fika, account executive baru di perusahaan mereka, lupa menyertakan file materi iklan dalam email yang dikirimkannya kepada klien. Celakanya, baru beberapa hari kemudian pihak klien mengabari kalau materi iklan belum mereka terima, akibatnya semua jadwal berantakan.

"Saya minta maaf, Pak. Waktu itu, saya kurang fokus sehingga telat membuat revisi."

Karin termenung. Ia merasa keputusannya tempo hari melindungi Fika sudah tepat. Gadis itu bukan teledor, ia cuma terguncang lantaran mendapat kabar tentang ibunya yang sakit. Sama seperti dirinya sekarang yang sedang limbung lantaran patah hati.

"Belakangan saya perhatikan kamu memang banyak melamun, dalam rapat-rapat kamu pun lebih banyak pasif."

"Itu sebabnya saya ingin resign, Pak."

"Tidak perlu ekstrim begitu, kamu cuma perlu penyegaran."

Karin mengerutkan dahinya melihat Pak Anton menyodorkan selembar formulir permohonan cuti yang telah ditandatangani kepadanya.

"Sebaiknya kamu ambil cuti. Selama tiga tahun bekerja di sini kamu belum pernah cuti, kan?"

Karin menggeleng.

"Bulan depan kamu cuti. Tenangkan dirimu, lakukan hal-hal yang kamu sukai atau pergi liburan beberapa hari."

Karin diam tak menanggapi, matanya menatap Pak Anton memohon pengertian. Ia tak butuh cuti, ia cuma tak mau lagi melihat Arya.

"Sana, kembali ke mejamu. Tapi ingat, saya tak mau lagi ada kelalaian."

Karin enggan beranjak tapi bosnya itu sudah kadung mengusirnya, ia pun pamit lalu meninggalkan ruangan Pak Anton.

"Mbak Karin!"

Karin membalikan badannya, rupanya Fika, gadis itu terlihat tergopoh-gopoh menghampirinya. Karin menyukai gadis ini. Bukan cuma lantaran mereka berasal dari almamater yang sama namun karena menurutnya gadis ini cerdas dan cekatan. Ia menyukai semangat kerja juniornya yang baru lulus dua bulan lalu itu.

"Mbak Karin habis dimarahi Pak Anton, ya? Mbak ditegur gara-gara kejadian Dominos?" tanya Fika, terlihat panik.

Karin merasa bersimpati kepada gadis muda di hadapannya ini. Ia tahu bagaimana tekanan menjadi karyawan baru. Dulu ia pun sama tegangnya, apalagi jika sampai melakukan kesalahan fatal.

"Nggak, kok. Kami cuma diskusi masalah kerjaan."

"Maaf, ya, Mbak. Gara-gara aku, kemarin Mbak Karin kena tegur Mas Arya."

"Udah, nggak usah dibahas lagi."

"Iya, Mbak," jawab Fika tersenyum lega. "Jadi, Mbak dipanggil Pak Anton bukan karena masalah itu?"

"Bukan," jawab Karin tersenyum. "Ngomong-ngomong gimana keadaan ibumu?"

"Udah membaik, Mbak. Kata dokter hari ini bisa pulang."

"Syukurlah."

"Kalau gitu aku kembali ke ruanganku dulu, Mbak."

Karin tersenyum dan mengangguk. "Sampai ketemu, Fik."

Karin pun kembali menuju meja kerjanya. Ia berjalan lambat-lambat menyusuri koridor memikirkan perkataan Pak Anton tadi. Ada rasa lega yang pelan-pelan merayap di hatinya karena urung meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya amat ia cintai ini. Bosnya itu memang bijaksana. Alih-alih memarahi karena kinerja yang buruk malah memberinya cuti.

Yes! Aku akan liburan!

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang