GERD

388 26 1
                                    

Tubuh Karin menggeliat lemah. Perlahan matanya terbuka. Pandangannya ia edarkan ke sekeliling. Dilihatnya ruangan serba putih dan tabung infus yang menggantung dengan selang menjalar hingga ke pergelangan tangannya. Ia membaui aroma aneh di sekitarnya dan segera tersadar kalau ia kini berada di rumah sakit. Perlahan ingatannya mulai mengumpul. Ia langsung panik. Dilihatnya Evan yang tertidur di kursi.

"Evan, bangun!" seru Karin.

Evan tampak terlonjak kaget lalu menghampirinya.

"Jam berapa sekarang?"

"Dua belas lewat sepuluh."

"Hah? Aku harus keluar sekarang! Aku harus mengejar pesawat!"

"Apa kamu gila? Tadi kamu pingsan hampir enam jam! Kata suster kamu harus banyak istirahat."

Karin tak peduli, tangannya malah meraih bel dan memencetnya berkali-kali. Tak lama kemudian, dilihatnya suster jaga datang dengan tergopoh-gopoh.

"Sus, boleh saya pulang? Saya harus ke Ende, pesawatnya berangkat jam dua siang ini."

"Tidak bisa, kondisi Nona masih lemah."

"Bisa tolong tanya dokter, Sus? Saya betul-betul harus keluar sekarang."

"Nona istirahat dulu, ya. Kesehatan Nona jauh lebih penting."

Karin panik begitu melihat wanita paruh baya berpakaian serba putih itu pergi meninggalkan ruangan.

"Aku harus keluar sekarang!"

"Kamu nggak dengar apa kata suster tadi? Kita bisa berangkat ke Ende besok, setelah kondisi kamu lebih baik."

"Besok? Nggak bisa, dong. Nggak enak sama yang lain."

"Kurasa mereka nggak akan keberatan."

Karin sungguh merasa tak enak hati lantaran kerap merepotkan teman-temannya, mulai dari keterlambatannya di bandara dan kejadian sekarang ini. "Serius Evan, aku nggak enak sama teman-teman."

"Gimana kalau mereka berangkat duluan ke Ende dan kita nyusul besok?"

Mendengar kalimat barusan, Karin bergidik ngeri. Itu artinya ia harus tinggal bersama Evan lebih lama. Oh, Tidak!

"Iya, aku bisa nyusul. Kamu berangkat aja bareng mereka."

"Kamu mau nyusul sendirian?"

Karin mengangguk meski sebetulnya ia sendiri tak yakin dengan ucapannya.

"Nggak bisa. Aku udah kadung dapat amanat dari Dewo. Dia, kan, Ketua Backpacker Nusantara."

"Lho, memangnya Dewo bilang apa?"

"Dia suruh aku jagain kamu."

"Aku berani jalan sendiri."

"Ini bukan soal berani atau nggak berani, tapi soal tanggung jawab."

Tiba-tiba Karin melompat turun dari tempat tidur, disambarnya tabung infus yang menggantung lalu bergegas keluar kamar.

"Hei, kamu mau ke mana?" tanya Evan.

Suara protes Evan sama sekali tak digubrisnya. Dengan langkah yakin, ia berjalan menuju ruang suster jaga.

"Saya mengerti kalau suster khawatir, tapi saya sudah merasa sehat," kata Karin memohon. "Sus, tolonglah," katanya dengan suara terisak. Air matanya mulai menetes. Ia merasa amat kelelahan, sementara ulu hati dan kerongkongannya masih terasa perih oleh asam lambung yang naik akibat penyakit gastro-esophageal reflux yang dideritanya. Ditambah lagi kenyataan ia harus terjebak bersama Evan. Semua itu sungguh menguras emosinya.

Backpacker In Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang